Kamis, 26 Januari 2012

Sumbangsih Agama Khonghucu Terhadap Keberhasilan Bisnis Etnik Tionghoa Serta Memberi Warna Cantik Dalam Bisnis



SUMBANGSIH AGAMA KHONGHUCU TERHADAP KEBERHASILAN BISIS ETNIK TIONHOA SERTA MEMBERI WARNA CANTIK DALAM BISNIS (SUATU KAJIAN LITERATUR )
Js.Drs.Ongky Setio Kuncono,MM,MBA *
( Mahasiswa Pasca Sarjana Program Doctoral Universitas 17 Agustus 1945 )
SEK APUR SIRIH
        Siang ini tanggal 5 September 2011ketika dalam perjalanan menuju ke kantor tiba tiba handphone   ku bordering, seorang wanita mengucapkan  “wi tik tong Thian”  dengan suara lantang.  Ini Haksu Thjie Tjay Ing mau bicara dengan Js.Ongky . Rupanya Haksu meminta saya untuk mengirimkan makalah untuk dicetak . Sungguh aku merasa gembira sekali karena ini sebuah kepercayaan yang sangat luar biasa kepada seorang Ongky yang masih belajar tentang Agama Khonghucu. Barangkali Haksu telah memeberi kesempatan kepada generasi muda agar selalu berkarya sebagai penerus sekaligus melestarikan ajaran Ru Jiao. Kalau tidak kepada kita kita ini, harus kepada siapa ?. Sementara hari itu pula saya menerima SMS dari Js.Liem Tiong Yang yang mengabarkan bahwa Ws.Ir.Wastu Pragantha Chong telah meninggalkan kita untuk selama lamanya. Sungguh kita telah kehilangan seorang tokoh Ru Jiao yang menurut saya Pak Chong adalah seorang tokoh penggerak pemuda yang telah memberi api spirit tiada pernah berhenti untuk belajar. Beberapa buku, kliping, bahan bahan baru tentang Khonghucu selalu aku dapatkan dari beliau. Bagi aku, pak Chong adalah salah satu seorang penulis Khonghucu yang tulisannya banyak dikutip oleh para peneliti seperti Dr.Lasiyo, Lukas ( Universitas Petra ),dan beberapa penulis lainnya, sehingga secara strategis sangat berguna sebagai sarana informasi menyuarakan Ru Jiao di kalangan akademik Indonesia. Kita butuh sekali penulis pemulis seperti Pak Chong pada saat sekarang agar Khonghucu tidak dilihat sebelah mata, melainkan orang orang diluar Khonghucu semakin banyak yang memahami Khonghucu bukan sekedar agama yang statis tetapi suatu agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang nyata. Ajaran agama Khonghucu bisa menyetuh sendi sendi kehidupan nyata kemanusiaan. Justru yang demikian inilah yang dikatakan dengan suatu  agama yang hidup dan berguna secara nyata dalam kehidupan manusia. Nabi Kongzi pun berkata hendaknya kita semua harus mengerti kehidupan sebelum mengerti hal kematian. Ayat tersebut hendak menjelaskan kepada kita bahwa agama itu harus berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agama yang berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia mencakup aspek aspek ekonomi, kesehatan, psikologi disamping mental spiritual. Sisi sini inilah yang sekarang lagi dikembangkan oleh agama agama lain seperti Islam dan Kristen dalam mengaplikasikan nilai agamanya dalam dunia bisnis. Oleh karena itulah sangat sempit apabila orang orang kita masih menganggap bahwa agama itu hanya berbicara tentang keimanan melulu.  Agama mencakup aspek yang sangat luas,  seluas aspek kehidupan manusia.Biarkanlah para pemikir Khonghucu memeberikan corak yang berbeda beda didalam menggali dan mempraktekannya.
           Berkaitan dengan hal diatas,  saya mencoba menulis dengan  melihat Khonghucu dari sisi kehidupan yang setiap  hari kita jalankan.  Bagaimana sumbangsih Agama Khonghucu terhadap keberhasilan bisnis etnik Tionghoa  serta memberi warna yang cantik dalam berbisnis. Semoga melalui tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

LATAR BELAKANG  
            Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang amat penting bagi pembangunan suatu negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan sebuah negara untuk memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, sebuah negara perlu memberdayagunakan modal dasar yang dimilikinya. Modal  dasar sebuah negara dapat berupa sumber daya alam (tangible capital) maupun sumber daya manusia (intangible capital). Sumber daya alam dan sumber daya manusia amat berperan penting bagi kemakmuran suatu negara. Oleh sebab itu, sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu dikelola oleh Pemerintah.  Dengan pengelolaan yang tepat, sumber daya tersebut dapat digunakan dan bermanfaat bagi peningkatkan taraf hidup masyarakat.
            Sumber daya alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan faktor geografis suatu negara. Setiap negara memiliki sumber daya alam yang berbeda-beda, bahkan ada pula negara yang tidak memiliki sumber daya alam. Berlawanan dengan sumber daya alam yang merupakan benda mati dan faktor yang bersifat tetap, sumber daya manusia merupakan sumber daya yang dikaruniai akal budi yang dapat terus-menerus diasah dan ditingkatkan dalam memanfaatkan sumber daya alam. Hal ini menjadikan sumber daya manusia adalah kunci bagi kemakmuran sebuah negara bangsa. Pemanfaatan sumber daya alam tergantung pada faktor sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan agen pembangunan ekonomi sebuah negara. Oleh sebab itu, pengembangan dban pengelolaan sumber daya manusia perlu dilakukan secara tepat.
            Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut data statistik Bank Dunia tentang populasi dunia, dengan populasi penduduk sekitar 230 juta jiwa pada 2009, Indonesia adalah negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat (World Bank, 2011). Populasi yang sedemikian besar tersebut seyogyanya dipandang sebagai potensi yang perlu diberdayagunakan. Beberapa studi empiris terhadap keterkaitan sumber daya manusia terhadap kemakmuran suatu negara dengan menggunakan data lintas negara membuktikan bahwa level sumber daya manusia suatu negara secara signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan produktivitas total dari faktor produksi dan peningkatan produk domestik bruto (Benhabib dan Spiegel, 1994; Barro, 1991). Level sumber daya manusia yang semakin tinggi akan berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas produksi yang akhirnya meningkatkan produktivitas total faktor produksi (total factor productivity, TPF).  Disisi lain, level sumber daya manusia yang tercermin pada tingkat pendidikan yang diterima, juga berpengaruh positif terhadap level pendapatan domestik bruto (Gross Domestic Bruto, GDP).
            Kekayaan sumber daya manusia Indonesia yang ditambah dengan keanekaragaman budaya merupakan aset berharga yang berpotensi meningkatkan  kemakmuran suatu negara. Sumber daya manusia Indonesia dan kebudayaan yang beranekaragam ini apabila dikelola dengan benar dan sungguh sungguh, maka akan terbentuklah manusia Indonesia yang handal, dan profesional dalam mengelola alam untuk kemajuan ekonomi  yang pada akhirnya  menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur seperti yang pernah dialami ketika jaman Majapahit dan Sriwijaya.
Karakteristik pembangunan ekonomi suatu negara juga amat dipengaruhi oleh karakter budaya yang berkembang. Awal mula pembangunan ekonomi yang berlandaskan kapitalisme terjadi di negara-negara Barat yang lebih menggunakan praktek-praktek bisnis yang lebih mengarah kepada kepentingan indidual untuk memperoleh kekayaan (Brook dan Luong, 1999).  Sebaliknya, ideologi kapitalisme tidak serta-merta mempengaruhi pokok-pokok pembangunan ekonomi di negara-negara Timur. Weber (1951) berpendapat bahwa budaya Konfusianisme yang menekankan prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan antar sesama manusia telah menghambat perkembangan kapitalisme di negara-negara  Timur yang kental dengan budaya Konfusius.
Dalam tatanan budaya, terdapat banyak komponen pembentuk sebuah budaya. Dalam sebuah budaya, terkandung unsur nilai-nilai informal, dan norma-norma yang membentuk karakter dan pola perilaku ekonomi manusia. Pengaruh budaya dalam perilaku ekonomi terlihat pada pengaruh budaya terhadap aktivitas produksi, pola konsumsi dan produktivitas, melalui kemampuan individu untuk menciptakan dan mengendalikan sebuah institusi, dan melalui kemampuan individu menciptakan jaringan sosial (Fukuyama, 2001). Seymour (1992) menjelaskan bahwa etos kerja sangat berpengaruh besar pada kesuksesan Jepang dan negara-negara industri baru terutama kesuksesan dalam bidang ekonomi.
Penelitian oleh Tu (1989) menemukan keseragaman konsep etika dasar dan sistem nilai pada negara-negara China, Jepang, Korea, dan negara industri baru lainnya. Masyarakat etnis Tionghoa terutama di negara China dan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura), termasuk Indonesia, memiliki kesamaan karakteristik dalam berbisnis. Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis Tionghoa selalu berpegang pada etos kerja disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam pelaksanaan tugasnya. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran Konfusius yang telah menjadi budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa tercermin dalam etos kerja pekerja-pekerja di negara-negara industri baru.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaw, et.al (2007) terhadap para pekerja Tionghoa, terdapat pengaruh antara nilai-nilai budaya Tionghoa dengan nilai-nilai yang dianut pada saat melakukan pekerjaan.  Pada umumnya, etnis Tionghoa memiliki etos kerja yang sangat disiplin, mau bekerja keras dalam situasi yang berat, hemat, jujur, konsisten dalam pelaksanaan tugasnya. Tipikal kerja yang demikian tidak terlepas dari nilai-nilai Konfusius yang telah ditanamkan dalam keluarga sejak kecil. 
Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-nilai budaya Tionghoa dipandang memiliki peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah organisasi bisnis dan praktek manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa (Sheh, 2001). Bagi etnis Tionghoa, perusahaan bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi dimana cara-cara menjalankan perusahaan tersebut amat dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusius. Nilai-nilai Konfusius telah berkembang menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa ( Mely G Tan ,1996 : 52 ).  Konfusianisme merupakan sistem etika dan filosofi yang diajarkan oleh Konfusius, seorang filsuf sekaligus agamawan dari China. Pada hakekatnya, ajaran Konfusius merupakan sebuah sistem yang mengajarkan tentang moral, sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang menitikberatkan pada kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu (Tu, 1989). Konfusianisme berkaitan dengan moral dan aturan yang mencakup bagaimana seharusnya seorang individu berinteraksi terhadap Tuhan dan sesamanya, baik dalam lingkungan kecil yakni tingkat keluarga, berinteraksi pada masyarakat  (pada tatanan organisasi), dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan) bahkan interaksi dalam kerjasama internasional ( dalam hubungan dengan antar Negara ).
             Budaya Konfusius juga menanamkan sikap dan perilaku  untuk bekerja keras, hemat, suka menabung, tidak putus asa dan menjaga nama baik melaui kepercayaan telah mengakar pada tradisis Tionghoa.  Mengakarnya ajaran Konfusius dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Tionghoa, telah menjadikan ajaran Konfusius sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Tionghoa ( Indarto ). Hal inilah yang menyebabkan setiap membicarakan budayaTionghoa tidak bisa begitu saja melepaskan tentang Confucius dan begitu pula sebalikknya setiap berbicara Confucius selalu berkaitan dengan budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa yang diwakili Etika Confucius bukan saja membudaya, melainkan telah menjadikan perilaku nyata dalam kehidupan sehari hari bahkan telah berpengaruh positif terhadap tingkahlaku bisnis orang orang Tionghoa. Seperti yang dikatakan Tan bahwa  nilai-nilai loyalitas terhadap keluarga  yang diajarkan Konfusius ini diyakini menjadi latar belakang kesuksesan pembangunan ekonomi Singapura (Tan, 1989).       
              Kosasih Atmowardono ( 1995 : 68 ) mengatakan bahwa sebagai filsafat social Konfusianisme mempengaruhi perilaku hidup yang juga perilaku ekonomi. Bangsa Jepang dan juga bangsa Asia lainnya yang mengikuti Jepang secara ekonomi seperti Korea, Taiwan, Vietnam, Singapura, Hongkong dan sebagian besar dari golongan etnis Cina di Malaysia, Indonesia, India dan di lain Negara, terpengaruh oleh filsafat social Konfusianisme.
              Ongkowijaya ( 1995 : 103 ) melalui kajiannya menunjukan ada benang merah dibalik sikap dan pandangan hidup etnik Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran moral Konfucius. Khonghucu ( Konfusius ) telah mempengaruhi mereka dari turun-temurun sepanjang sejarah kehidupan bangsa. Fakta demikian tentu mempunyai kadar pengaruh tidak kecil terhadap tingkah laku kehidupan, yang pada gilirannya sedikit banyak masih terbawa dalam pola bisnis di kalangan mereka.
          Kalau melihat beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan pada berbagai kota besar di tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada umumnya disepanjang jalan raya dipenuhi dengan pertokoan, perkantoran, restoran, dan sebagaian besar dimiliki atau setidaknya dikuasai oleh masayarakat Tionghoa (WNI atau WNA ) . Hal ini merurut Wastu Ptagantha Chong dapat dikatakan salah satu indikator bahwa dewasa ini mereka telah berhasil dalam menjalankan bisnis ( WP Chong ,1996 : 5 ).
           Kenyataan tersebut diperjelas pula oleh  Zhihong Gao dan Joe H. Kim ( 2009 : 77 ) bahwa masyarakat Konfucian telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat pada dekade terakhir, pertama dipimpin oleh Jepang, kemudian diikuti oleh “Four Mini-Dragons” , seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapora dan yang terbaru daratan China.            
             Perkembangan dan kemajuan masyarakat Konfucius dibeberapa Negara tentu saja juga akan berdampak pada  perkembangan nilai nilai Konfucius di Negara Indonesia dalam penerapannya kedalam dunia bisnis. Apalagi dengan dibebaskan kembali ajaran kegamaan Khonghucu di Indonesia sejak pemerintahan Gus Dur, banyak pengusaha Indonesia yang biasanya bungkam  diri, akhirnya mulai berbicara tentang manajemen dan bisnis ala Confucius. Hal ini akan mengingatkan kembali nilai nilai lama yang telah hilang dibicarakan dalam satu generasi.  
             Khususnya  di Indonesia, Confucius atau Konfusius terkenal dengan istilah Khonghucu ( (Khong Fu Ze ), ada sebagian orang yang menyebut Konfusianisme adalah penerus Ji Kau ( agama kaum lemah lembut ) yakni Agama Khonghucu sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius ( Khonghucu ) itu sendiri.  Menurut Dr.Lasiyo  Khonghucu mengarah pada dua istilah Ju Chiao yang mengarah pada keagamaan sedangkan yang satunya lagi disebut Ju Chia ( tanpa o ) mengarah pada suatu aliran filsafat. Baik Filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut dengan Confucius .  Beliau ( Confucius ) adalah tokoh yang menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Dari Raja Fuxi sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu, sedangkan Konfusius sudah sekitar 2.500 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau ( Confucius ) begitu melekat pada orang orang Tionghoa sepanjang sejarah yang ada. Ajaran Konfusius juga meringkas dari beberapa tokoh terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Konfusius sehingga  berjalan serta berkembang hingga kini hampir juga 5.000 tahun.  Dalam hal ini Konfusius berkata “ Aku bukanlah pencipta melainkan aku menyukai ajaran ajaran kuno tersebut “ ( Lun Gi VII : 1  ). Artinya bahwa Konfusius adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika moral dan agama yang begitu kental melekat pada etnis Tionghoa yang masih menjalankan dan menerapkan ajarannya.               
              Disamping Konfusius adalah suatu ajaran filsafat dan etika moral juga sebagai suatu agama yang didalamnya terdapat ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya ( Adi Nugroho : 13 ). Secara agama atau kepercayaan dan etika moral,  ajaran Konfusius akan mendorong pengikutnya  untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan hidup secara harmonis melalui persembahan pada leluhur dan Tian . Sebagai agama, Konfusius mengajarkan suatu kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya bahwa seorang yang bajik itu pasti mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti yang dikatakan Konfusius “ Maka seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat berkah, kedudukan, nama dan panjang umur “ ( ZY XVI : 2 ).  Kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus berkah, kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus kesengsaraan ( Shu Jing IV.IV.8 ). Keyakinan akan perbuatan kebajikan oleh orang Tionghoa yang pada akhirnya membawa berkat, rejeki , kesuksesan dan panjang unur itulah yang menyebabkan orang Tionghoa bekerja keras berdasarkan pada nilai nilai kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya berbisnis dengan bajik itulah Tuhan akan meridhoinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang mengatakan “ Wi Ti Thong Thian “ ( Hanya dengan Kebajikkan saja Tuhan akan berkenan ).
            Ajaran Konfucius diatas dalam kontek rasional  sebenarnya menjelaskan kepada kita tentang hubungan antara etika dengan kesuksesan seperti halya tesis Max Weber yang sebenarnya membahas antara hubungan  motif dengan tindakan ( Abdullah : 17 ) . 
                 Ajaran tersebut diatas menjadikan orang Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan kesuksesan dalam hidupnya, sebalikknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral ( tidak bajik ) dikarenakan takut akan kesengsaraan . Untuk itulah orang orang Tionghoa berusaha bekerja keras sesuai dengan jalan Tuhan ( kebajikan ) untuk mencapai kesuksesan yang benar. 
                   Dari ajaran Konfucius selanjutnya  berkembang dan  timbul istilah istilah seperti rejeki, keberuntungan ( hokkie ), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang orang Tionghoa. Semua praktik tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie . Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi ( konsultasi nasif ), gwamia ( ramalan ), shio ( horoskop ), dan hongsui ( tata letak bangunan ) yang berhubungan dengan hawa ( chi ).  Dan banyak pula istilah istilah seperti cengli ( masuk akal ) , Cinjay ( tidak terlalu hitungan ) dan Cuan ( keuntungan ). Istilah tersebut diatas menjadi umum dan selalu dibicarakan ketika kita berhubungan bisnis dengan orang  Tionghoa. Secara umum pergaulan  orang Tionghoa dalam bisnis selalu   harus Cingcay dan Cengli dan jangan sampai Ciak ( tidak bayar hutang ) akhirnya Cao ( berlari ). Istilah istilah umum diatas kalau kita kaji  tentu saja tidak jauh dari ajaran Confucius itu sendiri.
               Pokok ajaran Konfusius adalah bahwa manusia dilahirkan didunia ini memiliki kebajikan-kebajikan yang diberikan Tuhan berupa Ren ( Cinta Kasih ), Zhi (Keijaksanaan)  dan Yong (  Keberanian) yang disebut dengan Tri Pusaka. (Tiong Yong BAB XIX : 8, P61  ).    
                Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing ( 2006 : 4 ) bahwa dengan  Ren (arti: cinta kasih; Mandarin: ; pinyin: rén), manusia akan mendapatkan landasan dan sandaran bagi motif perbuatannya. Tentu saja hal ini akan mencerminkan cara-cara dalam berbisnis. Bahwa segala tingkah laku dan perbuatan bisnis tidak boleh meninggalkan nilai nilai kemanusiaan karena pada hakekatnya bisnis yang didak dilandasi oleh nilai nilai kemanussiaan Ren, akan mengalami suatu kemunduran. 
            Dengan Zhi (arti: pengetahuan; Mandarin: ) manusia mampu menangani dan memecahkan segala persoalan secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka akan menjadikan seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil segala keputusan manajemen. Dengan Yong (arti: keberanian; Mandarin: ), manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam menghadapi tantangan atau meraih cita cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan mendorong jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi ( Bingcu ), pengikut Konfusius, Kebajikan itu dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti: aturan-aturan kesusilaan dan tata krama; Mandarin: )  ( Bingcu VIIA,22:4 ). Dengan Li ( aturan-aturan susila dan tata krama), akan menjadikan seorang Wirausahawan bersopan santun, bertata krama dalam menerapkan bisnisnya.  Selanjutnya dikembangkan terus oleh Tung Zhong Shu ( 179-104) dengan menambahkan Xin (arti: kepercayaan; Mandarin: ). Dengan Xin ( Kepercayaan ) akan mempercepat proses transaksi dan pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. 
            Pada prakteknya, nilai-nilai Konfusius ini berkembang dari waktu ke waktu, dimana di abad XXI kebajikan  jumlahnya menjadi enam yakni Ren (cinta kasih, 仁), Yi (nilai-nilai kebenaran, ), Li (aturan-aturan susila dan tata karma, ), Zhi (pengetahuan, ), Xin (kepercayaan, ). Bahkan di Jepang ajaran Confucius berkembang pula menjadi etos kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang, terdiri dari tujuh prinsip yaitu,  Yi (, nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata karma, ),Yong (keberanian, 勇), Ren (cinta kasih, 仁), Xin (kepercayaan, 信), Yu ( reputasi, ), dan Zhong (kesetiaan, ) ( Maria Engeline : 16 ).




Gambar 1
Etika Konfusius abad ke-21
Ren

Humanity
Di

Ren
Ren

Yong
Li


Properiety

Tian

Zhi
Yi

Rightness
Zhi

Wisdom
Li

Properiety
Zhi

Wisdom

Li

Properiety

Ren

Humanity

Ren

Humanity

Yi

Rightness

Xin

Trust

Zhi

Wisdom

Xin

Trust
Yi

Rightness

Yong


Courage


 












                                              Sumber Wastu Pragantha Chong

             Kebajikan kebajikan diatas tentunya merupakan inti ajaran Konfucius yang dibahas secara filosofi dan dbicarakan dengan murid muridnya.  Dengan Kebajikan kebajikan diatas itulah  manusia wajib mengembangkan dalam kehidupam bermasyarakat dan bernegara bahkan dalam dunia bisnis. Kebajikan itu bisa dilakukan manusia karena memang manusiawi melalui belajar dan dilatih. Hanya dengan belajarlah manusia bisa menjadi Junzi ( manusia ideal pandangan Konfusius ) yang tentu saja memiliki kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.
                Jun-zi (Mandarin: ; pinyin: Chun Tzu ) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris disebut ( gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena keturunan tetapi karena keagungan watak dan tingkah laku yang baik. Menurut Confucius bahwa setiap manusia berpotensi menjadi Junzi ( Chun Tzu ). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin: ) menurut Confucius : Chun Tzu ( Junzi ) adalah seorang pemberani yang dapat menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya ( Dawson 1981 : 54).  Adapun sifat sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah :(1) setia dan selalu berbuat baik serta berusaha untuk mawas diri, ( 2 ) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri, (3). mengutamakan masalah moral ( Dawson 1981 : 55 ).
               Oleh karena itu seorang Junzi selalu berusaha untuk hidup dan bekerja sama dengan masyarakat dimanapun ia berada, agar dengan demikian ia mempunyai jiwa social yang tinggi mau beramal apa saja demi untuk kepentingan masyarakat bangsa dan negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral, karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan ( Ya’qub 1978 : 26 ).
Setelah China kembali pada ajaran-ajaran Nabi Khongcu ( revolusi ekonomi sejak 1984 ) , maka bisa dilihat betapa hebat kemajuannya. Dengan sumber daya manusia yang memiliki etos kerja 5 kebajikan, Cina kini menjadi nomor satu di dunia dalam berbagai bidang, sebut saja ekonomi, budaya, olahraga, teknologi, dan lain sebagainya. Produk-produk Cina kini tersebar di seluruh dunia dan penjualannya mengalahkan produk-produk dari negara-negara maju lainnya. China tak diragukan lagi telah melakukan lebih baik dalam hal pengembangan kemanusiaan dibandingkan dengan bencana pada era melompat jauh kedepan ( great leapforword ) dari tahun 1958 sampai 1962, dan era revolusi kedudayaan dari tahun 1966 sampai 1976. Beberapa decade dari pertumbuhan yang cepat sejak itu sudah mengangkat ratusan juta orang dari kemiskinan. Tingkat melek huruf telah meningkat 60 %menjadi 85 %dan 90 % nya diantaranya orang berusia 12-40 tahun ( Peter Engardio : 13 ). China diperkirakan pada pertengahan abad akan mengambil alih posisi no 1 Amerika bahkan para pembuat kebijaksanaan di Washington sedang memublikasikan berkas tebal yang menunjukan kemajuan pesat China dalam bidang mikroelektronik, teknologi nano, dan angkasa luar serta menggambarkan skenario suram mengenai apa yang akan dialami oleh kepemimpinan AS secara global ( Peter P 21 ). China dengan pertumbuhan sebesar 9,5 % sejak tahun 2004 (Peter  p 25 ) tentu saja kedepannya dengan himpitan ekonomi, kudeta, perselisihan politik dan managemen salah urus semata mata telah mengalihkan banyak keajaiban ekonomi dari asia tenggara ke Amerika Latin (p 28 ). 
Kemajuan China juga diikuti oleh kemajuan Empat Macan Asia ( Korea Selatan , Singapura, Taiwan, dan Hongkong ) antara tahun 1975 dan 1988 menaikan bagian mereka dari eksport total barang manufakturdunia dari 4 % menjadi 11 % . Antara tahun 1985 dan 1987, mereka meningkatkan bagian mereka dari eksport dunia berupa barang barang elektronik konsumen dari 15 % menjadi 30 % . Delapan dari sepuluh pekerjaan di Taiwan bergantung pada ekspor. Dua pertiga dari keluaran total barang dan jasa Singapura dieksor. Cadangan devisa dari Empat Macan Asia kini berjumlah S 100 miliar dan diperkirakan bertambah terus ( John Naisbitt & Patricia Aburdene : 166 ).
Khususnya Indonesia banyak pengusaha sukses dari kalangan Etnik Tionghoa yang kalau dikaji ternyata memiliki kesamaan ciri dengan Etnis Tionghoa di beberapa Negara seperti Singapore, Malaysia, Taiwan dan Hongkong. Kesamaan karakteristiknya adalah bahwa Etnis Tionghoa dalam berbisnis secara kekeluargaan, xuangxi, dan  prinsip prinsip kepercayaan. Kesamaan tersebut kalau ditarik ternyata berkaitan dengan ajaran Confucius.   
Dapat dipastikan bahwa kemajuan China dan Empat Macan Asia  dan bila dilihat dengan kondisi bisnis Etnik Tionghoa memiliki kesamaan yakni Etika Confucius dijadikan landasan sebagai etos kerja yang tentu saja memiliki hubungan dengan Kewirausahaan dan Kemampuan Usaha  serta Kinerja usaha. Bahkan pada tahun 1988, 74 pemegang Nobel dunia membuat pernyataan di Paris bahwa jika manusia ingin hidup dalam perdamaian dan kemakmuran di abad 21, mereka harus melihat kebelakang 2.500 tahun yang lalu dan mencari kebijaksanaan Confucius.
 “   In 1988, 74 Nobel Prize winners made the assertion in Paris that if human being want to live in peace  and prosperityin the 21 st century, they mush look back 2,500 years and seek the wisdom of Confucius” ( Youmin Zhang ).

Hampir dapat kita pastikan bahwa berbicara tentang etos Tionghoa maupun budaya Tionghoa dalam literatur, buku dan jurnal tidak lepas dari bicara tentang Confucius.  Menurut Indarto   Confucius sebagai pusat budaya Tionghoa mempuyai andil besar dalam bangkitnya pekenomian China dan beberapa Negara tepian pasifik. Beberapa kajian secara empiris menunjukan bahwa ada hubungan positif antara etika tradisional Confucius dengan  perilaku ekonomi di China dan empat Macan Asia .

PERMASALAHAN
Seperti telah kita ketahui bahwa sekarang ini hampir 80% pengusaha yang sukses berasal dari kalangan Tionghoa ( Usman,2009:  309 ). Hal itu dikarenakan kemampuan dan kinerja mereka yang ulet dan tangguh. Prinsip orang Tionghoa, ”Apa yang kami lakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tapi untuk kedepan” Jadi kedepan untuk apa ? Sehingga perlu modal, modal bukan hanya uang saja, tapi bisa juga keterampilan, semangat dan kepercayaan sehingga harus pandai bergaul serta berkomunikasi dan hubungan atau koneksi ( quanxi ). Perdagangan adalah lahan satu-satunya yang paling memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan bergaul, saling kenal dan membangun relasi. Begitu juga menjadi pedagang bukan karena faktor keturunan. Ini lebih berkaitan dengan pendidikan awal di lingkungan keluarga sebagai akar budaya khas, dengan alasan keluarga Tionghoa tidak semudah suku lain sehingga mereka bekerja keras.
Selain itu ajaran - ajaran Confucius juga sangat berpengaruh dalam kehidupan bisnis yang mereka jalankan , karena mereka berpegang teguh pada ajaran - ajaran Confucius di antaranya  : perubahan ( Yin Yang ) , kepercayaan ( Xin ) , cinta kasih ( Ren ) , kebenaran ( Yi ) ,kebijaksanan ( Zhi ), keberanian (Yong ) , kesusilaan   ( Li ) , dan jaringan / hubungan ( Xuansi ) .
Kedelapan ajaran tersebut sangat berguna untuk menjalankan usaha bisnis mereka , karena antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya saling berkaitan . Oleh sebab itu dalam kajian ini , penulis akan mencoba membahas kaitan nilai nilai Konfucius diatas terhadap kesuksesan bisnis etnik Tionghoa .

BATASAN MASALAH
Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bahwa etos Confucius sangat berpengaruh terhadap kesuksesan bisnis etnik Tionghoa. Hal ini diduga antara lain dipengaruhi oleh beberapa indikator dari etos Confucius , di antaranya : faktor perubahan (Yin Yang) , kepercayaan  (Xin), cinta kasih (Ren ) , kebenaran (Yi) ,kebijaksanan (Zhi), keberanian (Yong), kesusilaan ( Li ) , dan jaringan atau hubungan ( Xuansi ) .

PENGERTIAN ETIKA ( ETHOS )
              Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk dalam banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Sepintas lalu boleh diingatkan kembali bahkwa kata ini merupakan asal usul pula bagi kata seperti etika dan etis. Dalam bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. Dalam Concise Oxford Dictionary ( 1974 ) ethos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau system ( K Bertens :224 ).
             Menurut K Bertens ( 2007 ) etika yang berasal dari bahasa Yunani kuno itu dalam bentuk kata  tunggal yang  mempunyai banyak arti yakni  : tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,akhlak, watak, perasaan, sikap , cara berpikir. Dalam bentuk jamak ( ta etha ) artinya adalah : adat kebiasaan .
         Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk dalam banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Sepintas lalu boleh diingatkan kembali bahkwa kata ini merupakan asal usul pula bagi kata seperti etika dan etis. Dalam bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. Dalam Concise Oxford Dictionary ( 1974 ) ethos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau system ( K Bertens :224 ).
             Secara etimologis diatas istilah ethos berarti “ tempat hidup “ yang dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolosi dan berubah makna menjadi semakin komplek. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti “teori kehidupan” , yang kemudian menjadi “etika” ( Ferry Novliadi 2009: 4).
            Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu (1) suatu aturan umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku,(3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkahlaku. Dari kata ethos, terbentuklah kata ethtic yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal pula etiket yaitu cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak ( moral ). Maka Etika sama dengan Ethos yang secara etimologis memiliki arti adat kebiasaan yang oleh filsuf Yunani Aristoteles ( 384-322 sM ) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral            
           Pada Webster’s New word Dictionary, 3rd  College edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok.
           Makna berikutnya yaitu The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.
            Dalam bahasa Ingris ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental suatu budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat . Jadi etos kerja berkaitan dengan budaya kerja. Sebagai dimensi budaya, keberadaan ethos kerja dapat diukur dengan tinggi rendah, kuat ( keras ) atau lemah. Ethos kerja merupakan bagian penting yang menentukan suatu keberhasilan seseorang. Suatu keberhasilan bukan hanya ditentukan karena adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan akal pikiran tapi juga kemampuan untuk mengarahkannya pada kebaikan, baik secara individu ataupun kelompok. Sebagai contoh atas keberhasilan ini adalah masyarakat Jepang yang dipandang sukses di kancah ekonomi dunia dengan menerapkan ethos kerja Bushido dan Jerman yang menganut ethos kerja Protestan.
Poespoprodjo ( 1999 : 18 ) dalam bahasa latin, kata untuk kebiasaan adalah mos, dan dari sinilah asal kata moral, moralitas, mores .Etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata karma, etiquette, dan semacam itu.
           Dalam bahasa Inggris  Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point’,’to appear’, ‘disposition’ hingga disimpulkan sebagai ‘character’. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai ‘sifat dasar’,’pemunculan’ atau ‘disposisi / watak’. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai ‘kompetensi moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga ‘keahlian’ dan ‘pengetahuan’ tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara.
           Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai ; guiding beliefs of a person, group or institution ; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.  
          Menurut Koentjoroningrat ( 1980 ) dalam Ahmat Asifudin ( 2004 ) mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan watak khas tampak dari luar dan terlihat oleh orang lain. Etos artinya ciri, sifat, atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dililiki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa.
         A,S Hornby ( 1995 ) dalam The New Oxford Advances Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai ; the characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture; karakteristik rohani, nilai nilai moral, idea tau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sejalan dengan Nurcholish Madjid ( 1995 ) dalam Alwiyah Jamil etos ialah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau kelompok manusia. Dan dari kata etos terambil pula perkataan “etika” yang menunjuk pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga bararti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.
          Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan ; the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishesit from other people’s or group ; fundamental values or spirit; mores; disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari; adat istiadat.
         Menurut Suparman Syukur ( 2004) istilah etika sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yang berarti (1) merupakan pola umum atau jalan” hidup” (2) seperangkat aturan “ kode moral” dan (3) penyelidikan jalan hidup dan aturan aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar moral. Ia merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh pikiran.
Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai dengan keyakinan masing masing . Setiap keyakinan mempunyai system nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian ethos kerja re-definisi, maka pengertian ethos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap kehidupan: respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, ethos atau etika kerja merupakan produk dari system kepercayaan yang diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat.  
            Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini . Pertama , kata Etika atau Ethos dapat dipakai sebagai arti : nilai nilai dan norma norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalanya etika protestan  ( The protestant Ethik and the Spirit of Capitalism karya Max Weber) , Etika Confucius, Etika Islam  dll.
             Adapun pendekatan Etika kerja dapat dilihat dari pendapat Chong dan Tai dalam Wirawan (2007) bahwa:
“ Etos kerja sebagai work ethic belief system pertahins to ideas that stress individualism / independence and the positive effect af work on individuals. Work is thus considered good in itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will ensure success “. ( Etos kerja mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang. berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan )

Selanjutnya Sinamo (2005) menyatakan bahwa etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja  yang integral.  Setiap organisasi yang selalu ingin maju, akan melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap organisasi harus memiliki etos  kerja . Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan ”Sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Sedangkan  kerja  menurut Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan ”Sebagai usaha komersial yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral”.
Arti pentingnya etika kerja karena etika kerja bermuara pada semangat kerja yang memiliki ciri- ciri yang  khas dan yang memberi motivasi seseorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan tingkat penghayatan yang  tinggi, disiplin dan sepenuh hati dalam menyelesaikannya. Sikap ini haruslah terbina dan tertanam didalam diri individu sejak kecil dan termulai pembentukannya didalam keluarga. Keluarga mempunyai peranan penting didalam membentuk karakter baik, berdisiplin tinggi, semangat belajar, hemat, hormat kepada yang lebih tua,berorientasi kepada prestasi (meritokrasi).
Agar pendidikan etika dan moral mempunyai arti khusus, harus ada kesepakatan mengenai nilai nilai yang dianggap benar hal ini dijelaskan menurut Branker ( 1987 ) dalam Hansen dan Moven ( 1999 ), penilis “ Ethics Column” dalam Manajemen Accounting. Sepuluh dari nilai ini diidentifikasikan dan dijelaskan oleh Michael Josephson dalam Teaching ethical Decision Making and Prinsiple Rasioning. Kesepuluh nilai tersebut adalah : (1) kejujuran(honesty), (2) Integritas ( integrity), (3) memegang janji ( promise keeping), (4) kesetiaan (fidelity), (5) keadilan (fairness), (6) keperdulian terhadap sesamanya ( carring for others), (7) penghargaan terhadap orang lain ( respect for other), (8) kewarganegaraan yang bertanggungjawab (responsible citizenship), (9) pencapaian kesempurnaan ( pursuit of excellence ), (10) akuntabilitas ( accountability ). 
           Etika  kerja memiliki manfaat besar bagi kesukses individu dan negara , dapat kita lihat bagaimana negara Jepang dan Korea Selatan dengan etos kerjanya ,dapat bangkit kembali dari reruntuhan akibat perang dunia kedua, kedua negara tersebut sangat dipengaruhi oleh etika Confucius dan diimplementasikan ke dalam aspek kehidupan bangsa dan negara . Ketika nilai - nilai ini diwujudkan dalam praktek kehidupan individu dan masyarakat dalam kontek sosial, arti penting dari etos kerja terletak pada peranannya dalam menentukan keberhasilan seseorang. Keberhasilan yang bersumber dari perilaku atau sikap yang merupakan cerminan dari kecerdasan, keyakinan, semangat dan keberanian, loyalitas, penghormatan yang khas dari pribadi seseorang.
              Makna berikutnya yaitu The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like, prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
            Menurut Anoraga (1992) Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka Etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebakiknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka Etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
            Dalam situs resmi kementrian KUKM, Etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada webster’s Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai : Earnestness or fervor in working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang di lakoni. Dari rumusan ini kita dapat melihat bagaimana Etos kerja di pandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas.
            Dalam rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang di sertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya jika seseorang, suatu organisasi, suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak jaman Max Webber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan di tentukan oleh perilaku manusia, teruatama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.
                  Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah Etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan standar-standar.
Dari pengertian etos kerja di atas, maka jika seseorang, suatu organisasi atau suatu komunitas menganut paradigma kerja tertentu, percaya padanya secara tulus dan serius, serta berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, maka kepercayaan itu akan melahirkan sikap kerja dan perilaku kerja mereka secara khas. Itulah   etos kerja mereka, dan itu pula budaya kerja mereka. Etos Kerja yang merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang kelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
Dari uraian dan defiisi Ethos diatas apabila dikaitkan dengan  Etika Confucius tentunya akan menjadi etika yang berpengaruh terhadap tingkah laku khususnya orang Tionghoa dan penganut Confucius dalam mendorong peritingkahlaku nyata yang berkaitan dengan kinerja. Hal ini diperkuat pula dengan  Farid Elashmawi dan Philip R Harris bahwa segala perilaku manusia dalam menjalankan bisnis atau kehidupan social lainnya dipengaruhi oleh system kepercayaan mengenai kehidupan, kematian , agama dan nilai nilai lainnya. Kepercayan kepercayaan tersebut diambil oleh manusia sebagai norma yang  diterima, dan hal ini berkaitan dengan kinerja seseorang maupun kelompok ( organisasi ) ( Suryadi Prawirosentono : 113 ).
ASPEK  ETHOS KERJA                                                   
           Menurut Sinamo ( 2005 ) dalam Ferry Novliadi (2009 : 6 ) setiap manusia memiliki spirit/ roh keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya melalui keyakinan,komitmen, dan penghayatan atas paradikma kerja tertentu. Dengan ini maka orang berproses menjadi manusia kerja yang positif, kreatif dan produktif . Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo ( 2005 ) menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menompang semua jenis dan system keberhasilan yang berkelanjutan ( sustainable success system ) pada semua tingkat. Keempat elemen itu lalu dia kontroksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (
bahasa Sansekerta ) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu (1) mencetak prestasi dengan motivasi superior, (2) membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner, (3) menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif, ( 4) meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
         Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek etos Kerja seperti yang dibahas oleh Jansen Sinamo (2009) dalam bukunya  Your Navigator to Success, Etos Kerja Dalam Bisnis , diantaranya adalah :
1.      Kerja adalah rahmat, karena kerja merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan peuh syukur.
2.      Kaerja adalah amanah, kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab.
3.      Kerja adalah panggilan, kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas.
4.      Kerja adalah aktualisasi, pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakekat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat.
5.      Kerja adalah ibadah ; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdiannya.
6.      Kerja adalah seni: kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif.
7.      Kerja adalah kehormatan:; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8.      Kerja adalah pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.
           Aroraga ( 1992) juga memaparkan secara eksplisit sikap yang seharusnya mendasar bagi seseorang dalam member I nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bekerja adalah hakekat kehidupan manusia
2.      Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan
3.      Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral
4.      Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti
5.      Pekerjaan merupakan suatu pelayanan dan perwujudan kasih
                Dalam penulisannya , Akhmad Kusnan ( 2004 ) menyimpulkan pemahaman bahwa Etos Kerja menggambarkan suatu sikap, maka ia menggunakan lima indicator untuk mengukur Etos Kerja. Menurutnya Etos Kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternative, positif dan negative. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos Kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda tanda sebagai berikut :
1.      Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia
2.      Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia
3.      Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia
4.      Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita cita
5.      Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah
                   Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki Etos Kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan cirri cirri yang sebaliknya ( kusnan,2004), yaitu ;
1.      Kerja dirasakan sebagai sesuatu hal yang membebani diri
Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia
2.      Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan
3.      Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan
4.      Kerja dihayati hanya sebagai rutinitas hidup
                 Dari berbagai aspek yang di tampilkan ketiga tokoh di atas, dapat di lihat bahwa aspek-aspek yang di usulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam beberapa aspek Etos Kerja yang di kemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan ini mendasari pemahamannya pada delapan aspek etos kerja yang di kemukakan oleh Sinamo sebagai indikator terhadap etos kerja.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

            Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa factor, Yaitu :

a.       Agama
Dasar pengkajian kembali makna Etos kerja di Eropa di awali oleh buah pikiran max Webber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) Lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang pastilah di warnai oleh ajaran agama yang di anutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan namun hemat dan bersahaja (asketik), serta menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.
Sejak weber menelurkan karya tulis The Protestant Etchic and the spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang Etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah system kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas(Sinamo,2005). Menurut Rosmiani (1996) Etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja. Sikap ini di bentuk oleh system orientasi nilai-nilai budaya, sebagian besar bersumber dari agama atau system kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan Etos Kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi rendahnya kualitas ke agamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat Etos kerja yang rendah itu.

b.      Budaya
Selain temuan Rosmiani(1996) di atas, Usman Pelly(dalam Rahimah1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyaraka juga di sebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai Etos kerja. Kualitas Etos Kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki system nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki system kerja nilai budaya yang konservatif akan memiliki Etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki Etos Kerja. Pernyataan ini juga didukung oleh studi yang di lakukan Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putrid an Weda (1997) yang menyimpulkan bahwa semangat kerja/Etos Kerja sangat ditentukan oleh nilai-nilai Budaya dan agama ini menurut mereka di peroleh secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang di sebarkan secara turun-temurun.
c.       Sosial Politik

Soewarso, Rahardjo, Subagyo dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat di pengaruhi oleh ada tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH.Addurrahman Wahid (2002) mengatakan bahwa Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggungjawab kepada masa depan bangsa dan Negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan , kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Confucius dalam hal ini membentuk manusia Junzi yang selalu mengoreksi diri secara terus menerus dan melihat kedepan dengan harapan dan semangat berkarya yang tinggi tanpa ada henti hentinya. Konsep ini seperti yang kita lihat dari upaya untuk memperhbaharui diri sepanjang hari.
“ Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah setiap hari dan jagalah agar baharu selama lamanya “ .
        Disaping ketiga poin diatas bahwa ethos kerja juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan geografis, tingkat pendidikan, struktur ekonomi, motivasi intrinsic individu .
      

ETIKA CONFUCIUS
Etika Confucius adalah nilai nilai, aturan, moral  yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kempok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa.  Umumnya Etika  Confucius diajarkan secara lisan secara  turun temurun dari orang tuanya dan ini berjalan berabad abad tahun lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab  kitab Confucius yang dibawa oleh para pendatang  ( saudagar ) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di Indonesia . Mereka mereka itu akhirnya membentuk wadah Matakin dan mengangkat  pemuka agama ( Js , Ws dan Xs ) dan mengajarkannya lewat upaca upacara  maupun kebaktian di Li Thang ( Tempat Ibadah umat Confucius ) . Etos Confucius bersumber pada Kitab Suci Agama Konghucu ( Confucius ) yang terdiri dari dua kelompok : Wu Jing ( Kitab Suci Yang Lima ) dan Si Shu ( Kitab Suci Yang Keempat ) serta Xiao Jing ( Kitab Bakti ). Kitab Wu Jing terdiri dari :
1.       Shi Jing ( Kitab Sanjak )
2.       Shu Jing ( Kitab Dokumen Sejarah Suci )
3.       Yi Jing ( Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa )
4.       Chun qiu Jing ( Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu )
5.       Yue Jing ( Kitab Musik )

Kitab Si Shu terdiri dari :
1.       Da Xue ( Kitab Ajaran Besar )
2.       Zhong Yong ( Kitab Tengah Sempurna )
3.       Lun Yu ( Kitab Sabda Suci )
4.       Meng Zi ( Mencius ) ( Lin Khung Sen : 18,31 )

           Kitab kitab diatas sebagai sumber ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam berperitingkahlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka yang dimaksud dengan Etika Confucius  itu menyangkut keseluruhan  ajaran Confucius  yang dihimpun  dari Nabi Fuxi dan Hok Hi ( 2.953-2.838 sm), lalu Yu Agung  atau I Agung ( 2.205 – 1.766 sm ), Ji Chang atau Ki Chiang dan akhirnya Confucius ( Khonghucu )  sampai dengan  Bingcu.
          Wastu P Chong ( 1996 : 9 ) dalam buku “ Etika dan Keimanan Khonghucu” mengatakan bahwa  pada hakekatnya etika Confucius  yang kita kenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
Etos Confucius atau Etik Confucius (Confucian Ethick) menurut Lin Yu Tang (1936) dalam bukunya “ My Country and My People “  mengatakan bahwa “ Upaya manusia untuk memperoleh Kebajikan di dalam ( inner Sageliness ) dan berpenampilan sebagai Raja ( outer kingliness ). Artinya bahwa nilai - nilai Confucius dipelajari ke dalam ( Inner Sageliness ) sebagai moral kebajikan sedangkan keluar merupakan wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari - hari. Pernyataan tersebut dipertegas oleh  Xs. Indarto bahwa  Etika  Confucius disebut juga dengan “ Nei-sheng Wai-wang “ yang mencakup pendidikan moral atau budi pekerti untuk membina diri ke dalam seperti Nabi dan keluar memimpin dunia ( menjadi manajer yang tangguh ) ( Indarto : 32 ) .
Etika Confucius mengandung nilai nilai seperti toleransi pada sesama manusia baik antar kawan , atasan bawahan, antar sesama saudara dan lain lain; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua ; kesetiaan serta dapat dipercaya kepada Negara bangsa, hormat kepada yang berusia lanjut dan guru dan kasih sayang kepada anak dan saudara lebih muda.
Pada principnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan diri ( self cultivation) serta nilai nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negaga bahkan dunia.
Menurut Prof.Dr.Po Keung Ip ( 2009 ) Etos Confucius terdiri dari Ren, Yi, Li disamping Zhi dan Xin yang merupakan komponen penting dalam system moral yang membentuk  manusia Junzi.  Junzi melambangkan berbudi luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa henti secara konsisten selama dalam hidupnya. Terutama kaum intelektual dan elit penguasa bahkan semua orang didesak untuk menjadi Junzi dalam pikiran dan perbuatan dan terus mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri khas Junzi dalam analects Confucius ( Lun Gi ) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan dan tugas,bertindak sebelum bicara, kehati hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata kata, menunjukan bakti kepada orang tua, menampilkan menghormati persaudaraan untuk saudara saudara, bergaul dengan orang yang memegang prinsip moral, suka belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat baik kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani ,tabah, memiliki motivasi , berpikiran adil dan Zhu Zhong ( Tiong Si ). Zhu Zhong inilah yang sering disebut sebagai Golden Rule dimana “ Jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda “
Prof.Dr.Lee T Oei memberikan ciri ciri seorang Junzi diantaranya orang yang bertujuan, berusaha sungguh sungguh, menyeluruh, tulus hati, jujur, murni dalam pikiran dan tindakan , cinta akan kebenaran, adil dan tidak miskin, berkebajikkan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa, teguh, rukun, tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat terbuka, baik hati, berpandangan luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepa saliro, dan betenaga dalam ( Ongky 1996 ).
           Menurut Charles A Rarick, PhD  bahwa ada karakteristik yang dipraktekan oleh orang orang China serta China perantauan  yang berkaitan dengan Lima hubungan Konfucianisme, Lima Kebajikan dan Etika kerja Confucius yang mementingkan kerja keras, loyalitas dan dedikasi kerja, berhemat serta cita belajar ( p2 ) .
          Dari pendapat diatas tentunya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lima hubungan Confucius sebagai landasan manajerial yang ditunjang oleh nilai nilai Ren, Yi, Yong, Zhi dan Xin untuk menghasilkan ethos kerja yang loyalitas, dedikasi, pekerja keras , berhemat , cita belajar yang tentunya juga tercapainya keberhasilan (  kinerja ).




LIMA HUBUNGAN
           Aspek perting dari lima hubungan Confucius  yakni hubungan seseorang dengan atasan, orang tua , suami istri, orang tua dan teman teman. Kelima hubungan ini merupakan praktek manajerial China.
1.      Loyalitas bawahan dengan pimpinan
Konfucius mengusulkan hirarki social yang kuat berdasarkan posisi, dimana hirarki akan dipertahankan melalui pemimpin yang baik dan bertindak untuk kepentingan baiknya. Dalam organisasi khas China, keputusan dibuat oleh para pemimpin di bagian atas organisasi dan setiap orang diharapkan untuk melaksanakan arahan tanpa adanya pembantahan. Karyawan diharapkan untuk setia dan loyal sementara organisasi wajib member imbalan dan kesejahteraan karyawan .
2.      Hubungan antara Ayah dengan Anak
Konfucius merasa ada hubungan khusus antara ayah dengan anak. Ayah harus membimbing anak, dan anak harus menunjukkan cara hormat dan hasil sarannya ayahnya. Sama seperti seorang ayah ingin menasehati, mengajar, dan memberikan arahan seorang putra, majajer China diharapkan melakukan hal yang sama dengan karyawan. Dalam masyarakat Konfucian, manajer China berinteraksi dengan karyawan banyak yang sama seperti seorang ayah dalam mencari keluar untuk kepentingan terbaik dari anak anaknya. Dalam organisasi China modern hubungan diperpanjang sekarang untuk sebagian besar untuk mencakup kedua jenis kelamin. Konfucius merasa bahwa sebuah organisasi yang peduli dan memelihara dipromosikan kepercayaan dan keharmonisan diantara para anggota.
3.      Tugas antara suami dan istri
Perempuan harus dibimbing oleh suami mereka dan member mereka kesetiaan dan pengapdian. Perempuan tidak diizinkan untuk mengambil posisi penting dalam birikrasi China, peran perempuan dalam dalam Tiongkok kuno adalah satu domestic dan tuntuk, dan bahkan saat ini ada kesenjangan antara kedua jenis kelamin. Pada sisi yang positif, prinsip Confucius juga dapat diambil untuk menjelaskan peran sebagai tokoh dalam organisasi. Ketika organisasi dipandang sebagai perpanjangan keluarga, kita menemukan bahwa peran utama dari pemimpin adalah untuk bertindak sebagai tokoh orang tua dalam menjaga harmoni dalam organisasi. Semua anggota organisasi memiliki tugas sebagai peran khusus untuk bermain di organisasi tersebut. Kontrol social dipertahankan melalui orientasi klan yang kuat dan hubungan yang dibentuk berdasarkan peran yang telah ditentukan dan perilaku yang sesuai yang mengalir dari peran itu.
4.      Ketaatan kepada Sesepuh
Konfucius mengatakan bahwa kaum muda harus menghormati senior mereka. Hormat usia masih merupakan aspek penting dari budaya China, dan usia juga penting dalam menentukan mobilitas ke atas dalam organisasi. Hal ini biasa bagi manajer muda untuk memajukan lebih dari manajer  yang lebih senior, bahkan jika manajer muda yang lebih berkualitas dan dengan standart Barat, lebih tepat untuk promosi. Manajer muda diharapkan untuk mendengarkan, taat, dan menghormati senior mereka, dan menunggu giliran mereka untuk kemajuan. Manajer senior dipandang sebagai boneka penting, mewakili usia, kebijaksanaan, dan kepedulian untuk semua anggota organisasi. Organisasi menangani anggota muda dan anggota muda diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada senior mereka.
5.      Saling kepercayaan antara Teman
Confucius menekankan pentingnya kerjasama antara orang orang, dimana anggota organisasi harus bekerjasama untuk menjaga keharmonisan kelompok. Dalam budaya Barat adalah tepat untuk memusatkan perhatian pada individu, kita memberikan tanggungjawab individu dan member pujian pada individu yang luar biasa. Praktek semacam itu tidak dapat diterima dalam budaya China, ini akan terlihat sebagai tidak patut untuk keluar tunggal salah satu anggota kelompok untuk memuji atas orang lain. Perilaku seperti itu mennganggu keharmonisan kelompok. Demikian juga , tanggung jawab kolektif juga disukai oleh tanggungjawab individu . Fokus pada individualism merusak kepercayaan bahwa anggota kelompok dapat mengembangkan satu sama lain. Konfucius merasa bahwa ketika individu diperlakukan sebagai kelompok, dan didorong untuk mempertahankan keharmonisan dalam kelompok, hasil yang lebih besar dapat dicapai.
    
Gambar Lima Hubungan Confucius,Lima Kebajikan dan Etos Kerja

Atasan
Bawahan
Kerja Keras
Ren
(Cinta Kasih)

Li
(Keteraturan)
Yi
(Kebenaran)
Sahabat
 Teman
Ayah
 Anak

A
Suami
 Istri
Junior
 Senior

KEBERHASILAN
Tekun
Disiplin & Ulet

Loyal & Setia
Hemat


Zhi
(Kebijaksanaan)
Xin & Yong
(Kepercayaan & Keberanian)
 






  

LIMA KEBAJIKAN  
               Selain menjaga keharmonisan melalui hubungan, Konfusianisme mempromosikan lima kebajikan : Ren (Cinta Kasih ) , Yi atau kebenaran, Li kepatutan, Zhi atau kebijaksanaan, dan Xin= kepercayaan.  Manajer Confucius  di harapkan untuk peduli, bermoral, menjaga martabat mereka, memiliki kearifan, dan benar untuk kata-kata mereka  The “gentleman” konfusius di harapkan untuk hidup sampai dengan standar yang lebih tinggi.
            Dalam budaya Konfisius, manajer diharapkan untuk menampilkan “Ren”, yang berarti kebajikan atau humanisme, Ren kadang di terjemahkan sebagai ”goodwill” atau kebaikan terhadap orang lain. Manajer konfusianisme diharapkan menjadi manajer yang baik hati dan mengelola dengan kebaikan. Manajer di harapkan untuk focus pada membangun hubungan dan menjadi lebih ramah. Manajer Cina secara tradisional dihargai dedikasi, kepercayaan, dan kesetiaan lebih dari kinerja. Setiap karyawan melakukan yang terbaiknya / kemampuan dan bekerja untuk kebaikan kelompok. Perbedaan dalam kinerja individu tidak dianggap penting asalkan fungsi kelompok secara efektif. Peran manajer adalah untuk menjaga keharmonisan dan goodwill di seluruh organisasi.
            Aspek penting pemikiran Konfisius adalah  Yi (kebenaran ), berarti bahwa manajer di harapkan untuk menegakkan standar tertinggi perilaku moral. Kepentingan individu harus di korbankan demi kebaikan organisasi. Dalam banyak kasus kita dapat melihat manajer Cina yang menjunjung tinggi Yi, tetapi dalam beberapa kasus standar terganggu lebih berarti menyelamatkan muka perilaku. Cukup menarik, telah di usulkan bahwa orientasi etika Confucius telah di adopsi lebih erat oleh manajer barat. Misalnya, Romar (2004) telah menyarankan bahwa etika Konfusian yang konsisten dengan  membentuk dasar dari banyak ide-ide manajerial yang di kembangkan oleh pemikir barat yakni  manajemen Peter Drucker.
            Perilaku yang sesuai, atau Li, di dedikasikan melalui pemikiran  Konfucius dalam kerangka relationship. Seorang dengan atasan, orang tua, suami/istri, orang tua dan teman-teman (Lima hubungan). Konfusius sangat prihatin dengan hubungan dan kepatutan social. Istilah Konfusianisme “Li” sebenarnya mengacu pada Ritual. Ritual sebagai diwujudkan tidak hanya dalam hal perilaku yang sesuai dan peran, tetapi juga untuk upacara dan proses social lainnya. Budaya China dan praktek bisnis yang kadang-kadang di anggap sebagai panjang pada formalitas, dan perencanaan yang berlebihan  dan di kelola oleh standar barat. Seorang Cina mengatakan”air menetes dan waktu tertentu. Akan mengebor sebuah lubang di granit”(Chien 2006) mengungkapkan pentingnya kesabaran dan orientasi jangka panjang. Peran yang tepat dan ritual di Cina bisa tampak tidak fleksibel dan memakan waktu untuk pengamat barat.
            Untuk Cina, perolehan kebijaksanaan selalu di junjung tinggi. Kebijaksanaan dan usia yang terkait erat dalam budaya Cina, dan tidak mengherankan untuk menemukan penghormatan besar yang dibayarkan kepada anggota yang lebih tua dari masyarakat. Hal ini tercermin dalam pilihan personil, dan kemungkinan bahwa karyawan yang lebih tua akan orang-orang yang posisinya lebih dari senior dari organisasi, terlepas dari kemampuan seperti Cina yng terus berbaris kearah kapitalisme pasar. Tampaknya menjadi kesenjangan genersi berkembang antara tingkat junior dan senior manajer di Cina ( Tang&Ward 2003) dan perusahaan kewirausahaan Cina.
            Akhirnya menajer Khonghucu diharapkan  bisa memiliki Xin atau kepercayaan . selain menjadi orang yang dapat di percaya. Manajer akan setia pada misi organisasi. Para manajer Cina bertanggung jawab untuk menjaga control dan menjamin bahwa semua bawahan mengikuti kebijakan yang konsisten dengan misi organisasi. Di Cina kita akan menemukan orientasi yang kuat untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan. Kepercayaan dimulai dengan pemimpin  dengan mempertahankan organisasi yang harmonis, bahkan sampai-sampai karyawan diindroktinasi di “garis perusahaan”. Sekali lagi sifat-sifat pribadi seperti kepercayaan dapat dilihat sebagai lebih penting dari pada kemampuan kinerja.

PENDEKATAN ETIKA CONFUCIUS TERHADAP  BISNIS DAN  KAPITALISME
Argumentasi Confucius terletak pada pemeliharaan moral oleh diri sendiri dan pengembangan nilai kebajikan manusia, yang terintisarikan dalam diri gentleman Confucius ( Junzi, manusia ideal Confucius  ), daripada mefokuskan pada keuntungan. Pendekatan Confucius menganjurkan bahwa seseorang semestinya focus kepada perjuangan untuk nilai kebajikan manusia ( dalam hal ini  Yi) dan Li’= keuntungan, secara berimbang.
Memang untuk meneguhkan poin diatas, kita bisa beragumen bahwa dunia ekonomi atau kegiatan bisnis hanyalah satu aspek dari kehidupan manusia. Sementara manusia sudah dianggap sebagai makluk ekonomi atau memiliki nilai ekonomi dalam kerangka kapitalis, dia tidak hanya terbentuk dari nilai ekonomi semata. Dunia atau kegiatan bisnis hanyalah satu tempat cadangan dari keseluruhan perjuangan manusia ( yang terdiri dari keseluruhan aktivitas hidup dan kepercayaan manusia ). Perjuangan manusia ini mungkin mencakup satu keyakinan pada Tuhan ( supernatural ), juga pencarian intelektual atau pengetahuan sebagai kesenangan dalam hidup serta kebahagiaan.
Tidak adanya  kecocokan antara Etika Confucius dan Kapitalisme, Nuyen ( 1999) berpendapat bahwa filsafat Cina, termasuk Confucianisme, cocok dengan persaingan sempurna dan kapitalisme klasik. Berkaitan dengan hal ini, beliau mengacu pada Francois Quesnay, sang pemikir klasik. Quesnay mengatakan bahwa ekonomi adalah satu mekanisme yang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan hukum alam, dan karenanya kebijaksanaan  laissez-faire semestinya diambil. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuyen, hal ini diadopsi dengan pandangan untuk mencapai “ tujuan harmoni social, dan pada puncaknya harmoni seluruh alam semesta” ( p 75 ) yang adalah konsisten dengan konsep chung yung ( Tiong Yong ) menurut Confucius dan dengan Jalan Tao (pp.76-79).
Tetapi, sementara kita mencoba untuk mengintergrasikan etika dan bisnis secara holistic, fakta yang tertinggal adalah kita tidak bisa sepenuhnya mengelak dari kenyataan bahwa tujuan bisnis dan tujuan hidup mungkin bertentangan setidaknya dalam beberapa keadaan. Konflik yang berpotensi muncul antara moralitas pribadi dari seorang pegawai perusahaan atau agen dengan perusahaan. Ini tidak berarti bahwa bisnis dan segala aspek lainnya dalam hidup manusia adalah seharusnya secara kategori diperlakukan sebagai komponen terpisah. Memang, kita perlu untuk seperti yang dikemukakan Solomon, berusaha mengintegrasikan etika dengan bisnis dengan cara yang lebih holistic. Tetapi pada kenyataannya, dimana terdapat konflik khususnya antara pencapaian keuntungan bisnis dan tujuan fundamental dari keseluruhan kehidupan, sangatlah logis dan masuk akal bahwa yang belakangan ( tujuan fundamental kehidupan ) sangat diharuskan. Tujuan dari memajukan nilai kebajikan manusia seharusnya memang dari kepentingan ekonomi yang lebih sempit. Sehingga, bisnis tidak selalu merupakan kegiatan atau praktek mencari kekayaan materi dengan mengorbankan nilai nilai kebajikan manusia. Lebih jauh , sebagai kegiatan bisnis ( berdasarkan pada keuntungan ) hanyalah  merupkan sebagian dari keseluruhan hidup ( berdasarkan pada nilai kebajikan manusia ), seorang tidak semestinya mencari kekayaan materi dengan mengorbankan kebajikan manusia.
               Mencari pendekatan dari ajaran Confucius, tentunya kita bisa mengambil hikmah bahwa tidak ada larangan dari Confucius untuk mengejar Li’=(keuntungan) melainkan Confucius menganjurkan agar Li’= keuntungan dikejar dengan jalan Yi = kebenaran.  Sepaham dengan pendapat  Dr.Chandra Setiawan ( 2000 : 18 ) bahwa : “ Ajaran Confucius ( Khonghucu ) tidak berpikir bahwa kebenaran berlawanan dengan keuntungan pribadi, apa yang beliau tidak setuju ialah bila kekayaan dan kemuliaan diperoleh secara tidak layak dan tidak benar atau dapat dikatakan hanya untuk kepentingan diri sendiri (selfishness) atau mental mencari untung melulu.”   
                Dengan demikian kita dapat senyimpulkan bahwa ajaran Confucius tidak bertentangan dengan upaya manusia menuju pada kapitalisme yang dilandasi dengan nilai nilai moral. Kapitalisme yang menumbuhkan keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia secara adil.  Dalam hal ini Confucius mengajarkan akan pemerataan  kemakmuran dengan melarang adanya penimbunan kekayaan yang bisa menceraibelaikan masyarakat (    ).  

PENDEKATAN  PERSONALITY  DAN ETIKA BISNIS   Yi MENUJU Li’             
                 Pendekatan  Etika Confucius terhadap peritingkahlaku individu juga prilaku bisnis melalui pendekatan personality yang  menyatakan  bahwa tingkat religiusitas akan menjadi bagian identitas diri seseorang ( personality ). Personalitiy itu sendiri pada gilirannya akan menjadi factor penting menentukan perilaku di dalam organisasi maupun sikap kerja karyawan ( Indira Januari ). Confucius beranggapan bahwa  kepribadian ( personality ) harus dilandasi oleh kebajikan khususnya Ren ( Cinta Kasih ) agar dapat membetuk kelompok masyarakat yang bajik pula. Suatu personality yang berkebajikan akan memepegaruhi pritingkahlakunya dalam kehidupan dalam berkelompok . Confucius mengatakan :
“ Maka pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang itu tergantung pada diri pribadinya ; untuk membina diri itu harus hidup dalam Tao ( Jalan Kebenaran ) dan membina Tao itu harus hidup dalam Ren=Cinta Kasih”( Tiong Yong BAB XIX : 4, hal 60 ). 

              Personality juga mempengaruhi sikap kepemimpinan. Pempimpin yang bijak tentunya menerapkan tiga konsep Confucius ( Tripusaka )  yaitu  Ren =Cinta Kasih , Yong  = berani dan  Zhi = bijaksana  ( Tiong Yong Bab XIX,8 hal 61 ).              
             Dengan demikian Etika Confucius sebagai etika moral yang merupakan nilai nilai kinerja dijadikan sebagai landasan bisnis dalam mempengaruhi kinerja. Nilai nilai itu kita sebut sebagai Kinerja Confucius yang bersumber pada ajaran agama Khonghucu.  Kinerja Confucius tidak bedanya dengan Kinerja Islam dimana seseorang bekerja memiliki tujuan sebagai ibadah.  Namun  demikian  Kinerja Confucius memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan Kinerja Islam. Kalau Kinerja Islam tujuan bekerja untuk ibadah dan tujuan akherat , bagi Confucius motif bekerja adalah untuk menyempurnakan kehidupan di dunia ( sebagai sarana pembelajaran manusia dalam kehidupan di dunia ).  Perbedaan ini terletak pada konsep Confucius yang memandang bahwa orang bekerja didunia ini sebagai pelaksanaan  bakti ( Hau ) kepada orang tua dan keluarga. Bekerja memiliki tujuan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga pada saat kita hidup di dunia. Bagi Confucius manusia harus mengisi kehidupan di dunia ini secara benar, hal akherat tidak usah dibicarakan karena itu merupakan hukum Tuhan ( Thian Li ). Apabila manusia bisa menciptakan keharmonisan didunia dengan benar, maka hal kematian ( akherat ) sudah tidak ada lagi yang perlu dikawatirkan . Dalam hal ini Confucius mengatakan sebelum mengenal hidup untuk apa mengenal mati artinya bahwa menyempurnakan kehidupan didunia ini wajib dijalankan untuk mencapai kesempurnaan di luar Dunia .  Konsep tersebut yang mendasari bahwa orang orang Tionghoa itu bekerja untuk tujuan kemakmuran keluarga ) . Mereka merasa malu dan takut apabila tidak bisa memberi kehidupan dan kemakmuran kepada keluarga. Dan bagi mereka yang gagal dalam memenuhi kewajiban kemakmuran kepada keluarga merasakan sebagai rasa malu yang sungguh sungguh mengusik harga dirinya. Untuk itulah orang Tionghoa selalu bekerja keras membanting tulang agar rasa malu ini terhindar. Bagi orang Tionghoa kemakmuran dan kesejahteraan ini harus dikejar sebagai sarana belajar membangun kehidupan dikelak hari untuk nama besar keluarganya apabila telah meninggal dunia. Hanya menjaga nama baik keluarga merupakan bagian dati Bakti sebagai kewajiban dari Agama. 
             Etika Confucius menjadikan personality yang memahami    Li ‘( beda dengan Li ) yang mempertimbangkan Yi yakni hubungan antara Yi ( Kebenaran ) dan  Li’ ( Bisnis/ Keuntungan ) atau antara bisnis dan etika .  Hubungan tersebut oleh ditegaskan oleh  Lu Xiaohe sebagai berikut :
“ Seorang dengan karakteristik mulia ( Junzi )  dapat memahami Yi, tapi seorang yang dangkal pemikirannya hanya mengenal Li’ . Meskipun penganut pandangan Confucius tidak sepenuhnya menentang Li’ dan bermaksud menempatkan Yi kedalam Li’ atau untuk mencapai Li’ dengan cara  yang beroral, mereka lebih memperhatikan Yi ketimbang Li’.

           Dimensi Etika sangat penting dalam penerapan bisnis. Bisnis bukanlah suatu aktivitas yang netral secara moral. W. Michael Hoffman dan Robert E. Frenderick ( Hoffman et. Al.,1995 ) menuliskan bahwa, “ Memang benar bahwa tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses mendapatkan laba bukanlah satu aktivitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah mendorong bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apapun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam dua decade terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Kami, masyarakat China , seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan hubungan timbale balik keduanya. Melainkan juga mengkaji bisnis itu sendiri dari perspektif etis, contohnya dimensi etika dari bisnis yang tidak datang dari luar, melainkan suatu yang bersifat internal, komponen yang berkaitan dengan bisnis itu sendiri. Kita mestinya perduli dengan cara etis untuk mendapatkan keuntungan, atau cara Yi menjuju Li ( Kebenaran dalam menuju Keuntungan ) ( Lu xiaohe ).             
             Bisnis secara Confucius yang  dari Yi menuju Li’ dapat dilihat dari proses yang dilandasi etika Confucius seperti gambar dibawah ini .







Gambar Junzi dan Proses Kewirausahaan
JUNZI

Mengatur Pekerjaan
QIU ZHI
Memperbaiki Kesalahan
GAI GUO
Satya dan Dapat Dipercaya
ZHONG XIN
Memiliki Semangat Keuletan
YOU HENG
Cermat Berpikir
SHEN SI
 




Membenci Kepalsuan
E WEI
Menjaga Kewajaran
SHOU CHANG
         
Kesusilaan Dan Kebenaran
LI YI
Cinta Belajar
HAO XUE
Menuntut Diri Sendiri
QIU JI
Menuntut Kenyataan
QIU SHI
 


Satya Dan Tepasarira
ZHONG SHU
 



HUBUNGAN  ETIKA DENGAN  PERILAKU EKONOMI
             Yang mula mula membahas hubungan antara nila nilai agama  dengan  perilaku  ekonomi adalah Max Weber ( Taufik Abdullah 1978 :4 ). Max Weber dalam karyanya yang terkenal “ The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme , Weber ( 1958: 79-92 ) dalam ( Gorde 1995 :4 ) berusaha menjelaskan mengapa kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, tetapi tidak diwilayah lain. Untuk menjelaskan teorinya, Weber mengemukakan fakta dan pertimbangan bahwa di Eropa Barat telah terjadi suatu peristiwa relegius dan idiologis yang unik, yaitu Reformasi Protestan . Peristiwa tersebut telah menjadi tanah subur yang menumbuhkan kesadaran baru masyarakat Barat akan nilai universalitas dan keharusan berprestasi . Kesadaran baru ini bisa diterangkan dalam hubungannya dengan Kalvinisme . Kalvinisme adalah suatu sekte dalam gerakan Protestantisme, yang memandang kerja sebagai panggilan ( Beruf, calling ), suatu tugas suci yang bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari hari melainkan sebagai panggilan Tuhan.
            Semangat kerja keras dan hidup sederhana di kalangan penganut Kalvinisme ini dalam perjalanan sejarah kemudian menjadi tulang punggung system ekonomi kapitalis di bagian bagian bumi yang telah disebutkan.
           Dipihak lain , Weber mengemukakan bahwa nilai nilai agama Timur, berbeda dengan nilai nilai Protestanisme, karena yang disebut terdahulu justru menghambat tumbuhnya kapitalisme.
            Dari paparan diatas, tampak alur Tesis Weber tentang agama Protestan. Weber berkeinginan keras untuk mempertanyakan , atau mungkin lebih daripada itu , mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola pola perilaku. Weber setidak tidaknya telah mengarahkan pada suatu model pemikiran atau pendekatan , yakni factor structural dan pola pola pemikiran ( ide dan nilai ) harus dianalisis secara bersamaan dengan cermat. Antara prilaku prilaku agamis dan prilaku prilaku ekonomi harus dipahami dengan sebaik baiknya.
           Confucius sebagai agama dan filsafat memang mendorong pada umatnya khususnya Etnis Tionghoa untuk bekerja keras, hemat, tekun disamping menjalankan ibadah kepada Thian ( Sang Penciptanya ). Tentu saja Ajaran Confucius mendorong bisnis yang mengutamakan Kebajikan ( Zhi ) terlebih dahulu baru kekayaan atau keuntungan ( Thai Hak Bab X: 7 ). Pengertian tersebut bukan berarti kekayaan itu diabaikan, melainkan kekayaan boleh dikejar berdasarkan pada prinsip prinsip kebenaran ( Yi ).  
          Confucius mengajarkan manusia untuk sukses dalam kehidupan termasuk keberhasilan kerja. Keberhasilan kerja seseorang diantaranya ditemukan oleh adanya etos kerja yang tinggi dan berakar dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini ajaran ajaran agama yang berhubungan dengan penilaian ajaran agama tersebut terhadap kerja, akan menumbuhkan etos kerja pada diri seseorang. Pada perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya.
        Kosasih Atmowardoyo ( p 68 ) berpendapat bahwa ada semacam prinsip paduan yang tidak terlihat yang disebut “ Hidden Principles” selanjutnya dikatakan apabila hendak mencari misteri atau mencari “ Hidden Principles “ dari perilaku orang orang Tionghoa, maka harus melihat tradisi dan kebudayaannya. Prinsip  paduan yang diterapkan dalam perilaku ekonomi mungkin tidak terlihat oleh orang orang yang berada diluar lingkungan bangsa atau kelompok kebudayaan tersebut. Walaupun prinsip itu nyata bagi orang yang berada  dalam kebudayaan itu sendiri, tetapi tidak ada orang yang membicarakannya. Kecenderungan untuk menjauhkan” prinsip prinsip yang tidak terlihat” ini tidak hanya terbatas pada diskusi formal bidang ekonomi saja tetapi menyusup ke seluruh tubuh masyarakat . Dalam hal ini Bob Widyanto membenarkan bahwa “ Banyak orang orang Tionghoa tingkahlakunya sesuai dengan Confucius, walau ia sendiri tidak mau mengakui sebagai pengikut Confucius “. Banyak orang Tionghoa yang dulunya beraga Khonghucu ( Confucius) lalu pindah agama lain baik Kristen, Katholik maupun Islam, tetapi tingkah lakunya tetap beretika Confucius. Kenyataan ini semakin memperjelas kepada kita bahwa nilai nilai Confucius telah begitu melekat pada orang orang Tionghoa berabad abad lamanya  sehingga tak salah bahwa beberapa pakar sejarah baik Hegel, Mely G Tan dengan tegas mengatakan bahwa kalau ingin memperdalam tingkah laku orang orang Tionghoa, maka kita harus belajar Confucius. Memang orang orang Tionghoa umumnya sudah identik dengan Confucius karakteristiknya.
          Cendekiawan Xs.Indarto pun berkali kali mengatakan bahwa budaya Tionghoa tidak lain indentik dengan budaya Confucius. Budaya Confucius telah melekat pada Etnis Tionghoa dan mempengaruhi bisnis. Banyak penelitian dari beberapa perusahaan sebagai contoh pemilik Hyundai di Korea, Chung Ju Yung sebagai seorang yang sukses karena menempatkan nilai nilai
Confucius dalam pengembangan bisnis otomotifnya ( Kristan, Gemaku ), dan sekarang menjadi pabrik mobil terkenal di Korea bahkan telah eksport di beberapa Negara Eropa termasuk Amerika dan Negara Asia salah satunya Indonesia. Contoh tersebut menjelaskan kepada kita bahwa bukan lagi menjadi rahasia umum terutama kaum intelektual, bahwa nilai nilai Confucius adalah nilai yang melekat secara turun temurun melalui petuah petuah tauladan orang tua seperti nilai nilai kejujuran , kekeluargaan, tahan bantingan, mau bekerja keras serta hidup sederhana.
         Yang menjadi salah satu kunci kenapa orang orang keturunan China ( Tionghoa) meraih kesuksesannya, terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis. Mereka adalah pribadi yang mempunyai talenta. Talenta itu lalu dikembangkan dalam pola asuh keluarga secara turun temurun untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Dalam hal ini Filosofi Confucius adalah dasar kehidupan yang secara umum dipakai oleh keluarga China untuk membangun keluarganya ( Ryan Sugiarto : 13 )
          Confucius selain mengajarkan pendidikan dan kebijaksanaan, ia juga telah meletakkan dasar dasar tradisi berupa sikap mental yang kuat, yang mendasari orang orang China dalam berdagang, sampai sekarang melegenda dalam ajaran China. Berkaitan dengan bisnis, orang China terkenal erat dalam hal bisnis “ berbisnis sama artinya dengan membangun persahabatan”. Begitulah filsafat bisnis yangterilhami dari ajaran Confucianisme. Kekerabatan yang kental ini telah lahir dari ajaran Confucius yang memang menganggap penting persaudaraan, kekeluargaan, dan cinta kasih kepada sesame ( Ryan : 19 ).
         Dalam hal ini ajaran Confucius mengatakan : ( 1) Penghasilan harus lebih besar daripada pemasukan, (2) Bekerja setangkas mungkin, (3) Berhemat ( tidak boros ) ( Thai Hak Bab X : 19 ). Seorang Junzi itu sederhana dan tangkas bekerja ( Lun Gi Jilid I : 14 ). Seorang Junzi lambat bicara tetapi tangkas bekerja ( Lun Gi Jilid IV :24 ). Kerja keras seorang yang berwatak Junzi diatas mempengaruhi sikap kerja Tionghoa yang banyak dihubungkan dengan bakti keluarga, penerimaan akan disiplin, rasa takut ketidakamanan, toleransi besar terhadap rutinitas, dan prakmatisme yang ditanamkan dengan kuat ( David : 52 ).
       Harrell( 1985 ) dikutip oleh David, menyajikan tiga penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja orang China. Pertama, ia mengusulkan dimana orang China dibesarkan dengan nilai nilai yang berbeda. Nilai positif tentang “ kerja keras” secara kuat ditanamkan kedalam diri anak anak China pada usia dini. Bagi komunitas China perantauan, kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang komplek yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan, rasa percaya, hemat, yang dipandang sebagai dasar bagi terkumpulnya kekayaan.
        Kedua, orang China bekerja keras untuk mendapatkan ganjaran materi. Dalam komunitas China perantauan, kemakmuran, perasaan nyaman dan aman dalam usia lanjut menduduki posisi sentral dalam persepsi bersama tentang kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat social dan jaminan masa depan.
       Ketiga, etos kerja orang China mempunyai orientasi kelompok individu tidak bekerja semata mata untuk keuntungan pribadi, melainkan pertama tama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kemudian untuk kebaikan bersama masyarakat. Membangun hubungan dan kepercayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kredibitas dan posisi seseorang di kalangan komunitas China perantauan biasanya merupakan hasil dari kepercayaan yang telah dibina seseorang selama bertahun tahun dalam menjalin hubungan. 

           Ongky dalam The Key of Harmonious Life telah terperinci beberapa pokok penting hubungan Ajaran Confucius berkaitan dengan bisnis diantaranya :
1.      Konsep Ying Yang
Konsep Ying Yang adalah konsep dimana ada Langit ada Bumi, ada pria pasti ada wanita, ada siang pasti ada malam. “ Bila matahari telah mencapai rembang turunlah ia, dan bila Bulan menjadi purnama, susutlah ia, bila dingin pergi, panas datang dan bila panas datang, dingin pergi.
           Konsep diatas menjadikan prinsip orang orang Tionghoa selalu optimis dalam menghadapi kehidupan dimasa mendatang. Apabila saat sekarang masih belum sukses, ia akan berusaha dengan sekuat tenaga tanpa putus asa dengan harapan suatu saat mereka akan berhasil. Sebaliknya ketika orang Tionghoa telah mencapai kesuksesan hidup, mereka selalu berhati hati jangan sampai mereka salah langkah sehingga jauh dari kejayaannya.
2.      Konsep Zhong= Chung= Tiong ( Tengah Sempurna ) 
               Konsep Tengah Sempurna adalah konsep yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Seorang yang berbisnis jangan terlalu takut dan juga jangan terlalu “ gambling “ . Mereka yang terlalu “gambling” akan membahayakan bisnis walaupun kadangkala dengan “gambling” justru bisa meraih keuntungan yang tinggi. Selanjutnya mereka yang terlalu takut tidak akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Zhong juga berarti elastis ( tidak ekstrim), bisa mengikuti situasi dan kondisi yang ada.

3.      Konsep Keseimbangan
Keseimbangan dan keserasian sangat penting dalam setiap aktifitas bisnis, bahkan dalam mengatur organisasi perusahaan. Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, keseimbangan modal kerja dengan hutang harus dijaga, keseimbangan biaya operasi dan volume pejualan. Konsep tersebut seperti yang dikatakan oleh Confucius :
Mengurus hartapun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar dari pada pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda itu akan terpelihara “ ( Da xue X : 19 ).

4.      Semangat Maju dan Sukses
               Orang Tionghoa tidak pernah diam, melainkan selalu berusaha untuk mengubah hidupnya dengan bekerja keras, semangat maju untuk mencapai cita citanya.
“ Bila orang lain dapat melakukan hal itu dalam satu kali, diri sendiri harus berani melakukan seratus kali, bila orang lain dapat melakukan dalam sepuluh kali, diri sendiri harus berani melakukan seribu kali “ ( Zhong Yong XIX : 20 ) .

                 Konsep tersebut mencerminkan juga ketekunan dan pantang menyerah seperti yang diungkapkan dalan Zhong Yong pula  bahwa :

 “ Memang ada hal yang tidak dipelajari, tetapi hal yang dipelajari bila belum dapat janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak ditanyakan , tetapi hal yang  ditanyakan bila belum sampai benar benar mengerti janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak dipikirkan, tetapi hal yang dipikirkan bila belum dapat dicapai janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak diuraikan , tetapi hal yang diuraikan bila belum tercapai jelas janganlah dilepaskan ; dan ada hal yang tidak dilakukan, tetapi hal yang dilakukan bila belum dapat dilaksanakan sepenuhnya jangan dilepaskan “.

              Etika tersebut sebagai pendorong agar manusia dalam mengerjakan sesuatu dengan tekun, teliti dan tidak kenal menyerah bahkan sunguh sungguh . Apabila etika tersebut diterapkan dalam dunia bisnis, maka akan menjadikan seoseorang bekerja secera sempurna.



     5.Membuat baru dan modern
menambah pelanggan , melakukan penelitian dan pengembangan merupakan langkah langkah baru dan modern.
“ Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah dan jagalah agar baharu selama lamanya “ ( Da Xue II : 1 ).


               Masih banyak lagi nilai nilai Confucius yang mendorong kearah sukses dalam berbisnis misalnya bisnis harus dilandasi kepercayaan, kebenaran, keadilan, kebijaksanaan. Nilai nilai ini ada pada manusia sejak lahir . Manusia wajib kiranya menggali nilai nilai pemberian Tuhan itu untuk digunakan sebaik mungkin dalam kehidupan, pergaulan maupun dalam hubungannya dengan bisnis. Mengingat bahwa kesuksesan adalah hasil upaya yang terus menerus belajar dan memperbaharui diri agar sikapnya berubah menjadi baru. Sedangkan menjadi insan yang berbudi mulia ( OCB ) adalah cita cita tertinggi mereka yang menganut ajaran Confucius. Sebelum  mengatur keluar, tugas utama manusia adalah mampu mengatur dirinya sendiri. Seorang harus mampu meluruskan hati, menegakkan tekat, melengkapi dirinya dengan pengetahuan membina orang lain. Coanfucius percaya bahwa masyarakat yang makmur dapat dibentuk oleh mereka yang memiliki tekad, berpengetahuan luas, dan memiliki budi pekerti baik. Nilai nilai agama inilah yang selalu ditranfer oleh orang tua kepada anak cucunya sampai saat sekarang ini. Confucius selalu menggaris bawahi hubungan saling tergantung antara pemerintah dan keluarga. Hal itu disebabkan dalam masyarakat tradisional China, keluarga dianggap sangat berperan mengurangi kekacauan dalam institusi –institusi public. Maka, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk selalu menekankan ketentuan social dan kesejahteraan setiap anggota keluarga. Ikatan persaudaraan merupakan motor penggerak dalam politik idiologi kekeluargaan China. Implikasi politik dari system ini adalah membangun ekonomi China, yang ditekankan adalah jaringan ( xuanxi ), sebuah relasi untuk saling tolong menolong. Prisnsip Jaringan kekeluargaan ini menjadi pilar cara pandang dalam kerangka kerja ekonomi China. Selain itu , yang menyebabkan China mampu menguasai perekonomian secara global adalah etos kerja yang menekankan keuletan dan kerajinan.
             Dari uraian diatas akhirnya penulis mengambil Indikator Indikator  Etika Confucius (1) Perubahan ( Yin Yang ), (2) Kepercayaan ( Xin ), (3) Cinta Kasih ( Ren), (4) Kebenaran ( Yi), (5)Kebajikan (Zhi) ,(6) Kebenaran (Yong ) (7) Hubungan ( Xuangsi ).
 1. Perubahan ( Yin Yang )
Kehidupan orang Tionghoa termasuk dalam bisnis tidak lepas dari konsep Yin Yang yakni konsep bahwa alam semesta terdiri dari dan ditunjang oleh dua kekuatan , Yin dan Yang , atau positif dan negative atau juga disebut prinsip kegandaan . Konsep Yin Yang merupakan faktor yang dianut orang Tionghoa yang mempengaruhi banyak keputusan sehari - hari yang dibuat oleh orang Tionghoa dalam usahanya ( bisnis ). Menurut Boye De Mente bahwa “ Prinsip Yin dan Yang memberikan pada orang Tionghoa pandangan jauh ke muka dan memungkinkan mereka untuk menerima hal yang tidak diinginkan dengan wajar “ ( Boye De Mente : P23 ).
Etos Yin Yang juga merupakan konsep orang Tionghoa bahwa hidup harus berubah terus menerus kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam dunia bisnis , orang Tionghoa harus terus merubah bisnisnya kearah yang lebih maju, baik itu modal , pelayanan , jaringan maupun manajemen . Konsep ini didasarkan pada Kitab Yak King ( Kitab Iching ) salah satu ajaran Confucius (Konghucu) yang menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang statis melainkan berubah. ( Babaran Agung A : 23 ).
Dalam Kitab Iching / Yi  Jing , Babaran Agung B : 32 tertulis “ Matahari pergi datanglah bulan , bulan pergi datanglah matahari , matahari dan bulan saling dorong timbulah terang : dingin pergi datanglah panas , panas pergi datanglah dingin. Musim panas dan musim dingin silih berganti , datanglah pergantian tahun “ ( Tang Duan Zheng : 15 ) ( Yak King : 154 ).
Ayat di atas menjelaskan tentang perubahan , manusia hidup di dunia harus berubah kearah yang lebih baik. Dan bila dikaitkan dengan dunia bisnis , maka bisnis harus berubah menuju kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Dari konsep ini menjadikan orang - orang Tionghoa tidak mau duduk diam dalam berwirausaha , melainkan berusaha agar selalu mengembangkan bisnisnya atau mencari peluang bisnis secara terus menerus sesuai dengan perubahan lingkungan. Etos Ying Yang ini yang bisa mendorong seseorang  untuk berwirausaha tanpa ada keraguan.  
Etos Yin Yang seperti dicontohkan oleh raja Shan Thang yang hidup kira - kira lebih dari 3000 tahun yang lalu dengan ditulis dalam bak mandinya dari perunggu dengan kata - kata yang sederhana “ Bila suatu hari dapat memperbaharui diri , perbaharuilah terus setiap hari dan jagalah agar baharu selama - lamanya “ (Thai Hak BAB II : 1).
Etos Yin Yang menjadikan keyakina etnis Tionghoa bahwa hidup ini harus berubah kearah yang lebih baik atau selalu melakukan pembaharuan , perubahan     ( transformasi ) . Melalui etos Yin Yang akan memacu seseorang untuk dapat merubah nasibnya menjadi lebih baik , sementara bagi wirausahawan akan menjadikan wirausaha yang selalu melakukan perubahan bisnisnya kearah yang positif bahkan mampu mengantisipasi bisnisnya ke depan , sebab bisnis tidak akan pernah staknan melainkan akan berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan pasar.
Jusuf Sutanto ( 2006 : 18 ) mengatakan bahwa “ Dunia usaha sangat concern terhadap perubahan dan perbaikan terus menerus karena kalau lengah, perubahan bisa punah “. Ilmu manajemen Jepang pengendalian mutu terpadu ( Total Quality Control dan Kaisen ) memahami benar hal ini sehingga menjadikan perbaikan terus menerus sebagai kegiatan sehari hari dan tak pernah berhenti.
Melalui memutar Roda PDCA atau Plan-Do Check-Action, diupayakan standart yang telah dicapai terus diperbaiki, bukan hanya oleh pemimpin saja ( seperti dalam manajemen Barat ), tetapi oleh semua karyawan . Bahkan supplier dan pelanggannya diajak ikut secara proaktif.
China sudah mempunyai tradisi agraris berumur ribuan tahun lamanya dan mempunyai kitab Iching mengenai Hukum Perubahan Abadi, dan ditulis sejak 3000 tahun SM , tidak hanya sebagai petunjuk dalam bertani, bahkan mempunyai kearifan hidup sebagai jalan alam ( Tao ). Dan juga digunakan oleh etnis Tionghoa sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dalam pedoman berbisnis .
Perubahan dasyat yang sedang terjadi akan terus berlangsung dan tidak bisa dicegah lagi. Kita tidak bisa lagi mengembalikan masa lalu atau seperti akan seperti Dinosaurus yang punah ketika Zaman es mencair yang bisa kita kerjakan adalah mempelajari hukum hukum perubahan itu, lalu menyesuaikan diri kita untuk bisa Survive dalam perubahan ( Jusuf Susanto : 17 ).
                Menurut Prof.Dr.J .Winardi,SE ( 2005 : 3 ) perubahan dapat dibedakan menjadi dua yakni perubahan yang direncanakan ( planned change ) dan perubahan yang tidak direncanakan ( unplanned change ). Perubahan yang tidak direncanakan terjadi secara spontan atau secara acak, dan ia terjadi tanpa perhatian agen perubahan .Perubahan demikian dapat bersifat merusak ( disruptif ). Hal yang mungkin lebih penting bagi sesuatu organisasi yaitu perubahan yang direncanakan.Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah reaksi langsug terhadap persepsi seseorang tentang adanya suatu celah kinerja ( a performance gap ) yakni suatu diskrepansi antara keadaan yang diinginkan dan keadaan nyata.
Kurt Levin berpendapat bahwa setiap upaya perubahan dapat dipandang sebagai sebuah proses yang terdiri dari tiga macam fase :
Fase pertama dinamakan fase “ pencarian “( unfreezing), fase kedua dinamakan fase “perubahan” ( changing ) dan fase ketiga merupakan fase “ pembekuan kembali “ ( refreezing ) ( Lewin, 1951 ). Fase pertama “ pencarian “ merupakan tahapan dimana orang mempersiapkan sebuah situasi untuk perubahan .Tahapan “ perubahan” mencakup tindakan modifikasi actual dalam manusia, tugas tugas,struktur dan atau teknologi . Fase “pembekuan kembali “ merupakan tahapan final dari proses perubahan. Ia didesain untuk memelihara momentum suatu perubahan, di mana secara positif “dibekukan” hasil hasil yang diinginkan.
Ketiga macam fase proses perubahan dari Kurt Lewin tersebut dapat kita sajikan pula dalam bentuk sebuah model sebagai berikut :

Gambar hal 3 Winardi

Robbins menyatakan bahwa makin banyak organisasi dewasa ini menghadapi lingkungan dinamik , dan yang mengalami perubahan serta menyebabkan timbulnya keharusan untuk berubah . Ada enam macam kekuatan yang bekerja sebagai stimulant bagi perubahan yakni :                                                                                   
1.Sifat angkatan kerja yang berubah
2.Teknologi
3.Kejutan kejutan ekonomi
4.Tren social yang berubah
5.Politik dunia baru
6.Sifat persaingan yang berubah
Dalam menghadapi perubahan perunahan orang Tionghoa umumnya memiliki semangat hidup yang tinggi . Kemamuan kerja kerasnya dan kebiasaan hidupnya yang hemat menyebabkan orang Tionghoa mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat. Bagi orang Tionghoa untuk sukses manusia harus berubah, untuk bisa berubah tentu menghindari kemalasan sebab malas bagi orang Tionghoa dianggap levelnya dibawah kebodohan dimana kebodohan merupakan indetik dengan kemiskinan. Bagi ajaran Konfucius pemalasan dianggap keadaannya jauh lebih buruk daripada orang bodoh ( Thomas : 48 ).

2. Kepercayaan ( Xin )
Di kalangan pengusaha Cina di Hongkong dan dalam komunitas etnis Tionghoa di luar Cina daratan termasuk Malaysia , Singapura dan Indonesia , etika kepercayaan merupakan unsur utama untuk sukses dalam menjalankan bisnis. Banyak studi empiris menekankan pentingnya nilai kepercayaan ini. Dalam penelitiannya tentang sebuah pasar grosir sayuran di Hongkong , Robert H Sillin (1972 : 337) dalam (Wong Siu - lun : 169 ) menemukan bahwa “ xinyong atau kepercayaan merupakan faktor vital dalam mempertahankan jaringan kompleks hubungan - hubungan dagang”.
Tanpa ada kepercayaan tidak mungkin bisnis bisa berjalan dengan cepat dan praktis. Kepercayaan akan mempercepat proses pengiriman barang dan memperpendek jalur birokrat. Orang Tionghoa menganggap bahwa bisnis harus cepat dan mencapai target. Bila seorang Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota masyarakat bisnis , maka kecil kemungkinannya ia akan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan. Anggota yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan , baik dalam lingkup lokal maupun internasional ( David : 56 ).
Suatu bisnis yang tidak dilandasi system kepercayaan tentu saja akan putuslah hubungan dengan para pelanggan maupun pemasuk. Sementara bisnis yang dilandasi kepercayaan akan melanggengkan hubungan dengan pemasuk maupun pelanggan dalam jangka waktu yang relative panjang. Doug Lennick dan Fred Kied :2005 dalam Itpin 2006 penulis buku Moral Intelligence, beragumen bahwa perusahaan perusahaan yang memiliki pimpinan yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman,2005 dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. 
Kepercayaan adalah landasan pokok dalam berhubungan bisnis , tanpa kepercayaan sulit rasanya proses bisnis dapat berjalan dengan baik , misalnya kecepatan transaksi , pengiriman barang maupun ketepatan target. Untuk itu berbisnis harus menggunakan etika bisnis yang jujur dan dapat dipercaya.
Ada beberapa keuntungan bagi pengusaha yang menjaga etika,       

1.Jika jujur dalam berbisnis maka bisnisnya akan maju.
2.Timbulnya kepercayaan.
3.Kemajuan terjaga jika perilaku etos kerja
4.Perlahan laba akan meningkat
5. Bisnis akan terjaga eksistensinya
                         
Dalam masyarakat yang saling percaya, kebutuhan untuk mendokumentasikan perjanjian sangatlah kecil, tetapi sebaliknya, jika mitranya saling khawatir satu sama lain, mereka perlu sangat jelas tentang batasan perjanjian mereka, sehingga semua harus didokumentasikan
Kepercayaan mula mula memungkinkan perusahaan perusahaan yang tidak saling kenal untuk merasa cukup nyaman untuk memenuhi interaksi lebih lancut, dan mengembangkan hubungan mereka hingga ke tahap kepercayaan yang lebih tinggi, yang adalah kepercayaan kemudian ( John Kidd dan Xue lie )
Wong selanjutnya mengatakan : “ Dalam sebuah studi tentang penduduk etnis Cina di kota dagang kecil di Jawa oleh Edward Ryan menekankan bahwa kepercayaan mempunyai kedudukan sentral dalam masyarakat. Memiliki kepercayaan oleh orang Cina dianggap penting dalam usaha mengumpulkan kekayaan . Ryan melihat bahwa pemilikan modal dipandang kurang penting disbanding dengan pemilikan kepercayaan (169).
Menurut Hitt ( 1997 : 69 ), perusahaan yang memajukan dan memelihara praktek etis lebih memungkinkan mencapai daya saing strategis dan memperoleh keuntungan diatas rata rata. Alasan kunci ialah bahwa reputasi mereka dalam praktek etis akan menarik pelanggan pelanggan loyal. Bertindak dengan penuh kejujuran dan menghindari perilaku perilaku yang baik, mutlak diperlukan bagi seseorang wirausaha bila ingin usahanya maju. Kejujuran adalah
  harga diri , kehormatan, dan kemuliaan bagi siapapun dan sebaliknya, tipu daya, licik, bohong justru akan menghancurkan kredibilitas perusahaan kita ( Gymnastiar,2004 : 8 ).
Etos kepercayaan di atas tidak terlepas dari ajaran Confucius yang sudah membudaya pada etnis Tionghoa seperti apa yang dikatakan oleh Confucius “ ……. di dalam pergaulan dengan rakyat (masyarakat) harus berdasarkan pada sikap dapat dipercaya “ (Tahi Hak III : 3). Bagi Confucius orang yang tidak dapat dipercaya itu tidak berguna seumpama kereta besar yang tidak mempunyai sepasang gandaran atau kereta kecil yang tidak mempunyai sebuah gandaran , entah bagaimana menjalankannya ?” ( Lun Gi II : 22 ) . Kepercayaan yang dilandasi dengan kebenaran , maka kata - katanya dapat ditepati ( Lun Gi I : 13 ).
  Etos kepercayaan dalam pengertian ini adalah mengandung arti kejujuran. Dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Confucius ketika pangeran Ai bertanya bagaimanakah caranya supaya rakyat mau menurut ? Confucius menjawab “ Angkatan orang - orang yang jujur (dapat dipercaya) dan singkirkanlah orang - orang yang curang : dengan demikian niscaya rakyat akan menurut . Kalau diangkat orang - orang yang curang dan disingkirkan orang - orang yang jujur , niscaya rakyat tidak mau menurut “ (Lun Gie 2 : 19).
Bagi Conficius kepercayan perlu di tumbuhkan sejak dini mulai dari ruang lingkup keluarga. Sehingga dengan demikian akan membentuk seorang JUNZI (Manusia Unggul) yang penuh kebajikan. Dalam kontek bisnis seorang JUNZI akan menerapkan kebajikannyadalam mengelola bisnis dengan benar.
Eman Suherman mengatakan “ Etika bisnis antara lain meliputi : kejujuran , kepercayaan (harus dapat dipercaya ) , ketepatan dalam memenuhi janji , kehandalan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan , serta keterbukaan “ (Suherman : 228).
Linda Kleebe Trevino ( 1995 : 290 ) dalam alma ( 2003 : 52 ) menyatakan “ Business Ethics is about building of trust between people and organizations, an absolutely essential ingredient to conducting business successfully in long term “ ( Etika bisnis merupakan usaha membangun kepercayaan antara masyarakat dengan organisasi organisasi bisnis, dan ini merupakan elemen yang sangat penting untuk suksesnya bisnis dalam jangka panjang” ( Eman Suherman : 228 ) .
 Bisnis yang dilandasi dengan kepercayaan , maka akan mempererat hubungan dan dengan sendirinya akan memperbanyak jaringan , sehingga ini akan memperkuat posisi bisnisnya. Keyakinan di atas diyakini oleh Etnis Tionghoa dan digunakan dalam setiap langkah dalam dunia bisnis.
Bila setiap Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota - anggota yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan , baik dalam lingkup lokal maupun internasional (David : 56) . Oleh karena itu keluarga bisnis Tionghoa pada umumnya menjaga nama keluarga dengan baik. Kegagalan melakukan hal tersebut berarti melanggar asas bakti pada keluarga karena usaha penanganan bisnis secara tidak etis akan membawa malu dan aib bagi leluhur seseorang , yang biasanya diungkapkan dalam marga seseorang. Menurut Hedding (1990) yang dikutip oleh David“ menyelamatkan muka “ adalah dorongan motivasi yang kuat di balik usaha nama keluarga di antara para wiraswasta Cina .
Tak salah apa yang di katakan Ketiga bisnismen sukses :
“ Orang bisa berkali - kali memilki uang , tetapi memiliki kehormatan hanya sekali saja “ Fung King - hey , pendiri perusahaan pialang saham terbesar Hong Kong        ( Kraar , 1985, p92 ).
“ Komoditas dalam perbankan bukanlah uang , melainkan kepercayaan “ Mochtar Riady , Ketua Lippo Group , Indonesia ( Shirdas , 1992,p:11 ).
“ Faktor utama di balik hubungan yang lancar adalah kredibilitas “ Li Ka shing , pengusaha properti terkemuka , Hong Kong (Kraar,11992,p:67).
Begitulah pentingya kepercayaan , sehingga nyawapun bila perlu dikorbankan demi kepercayaan dan nama baik. Hal ini sangat mendarah daging di sebagin besar etnis Tionghoa. Keyakinan ini bersumber pada ajaran Confucius sebagai berikut . Tatkala salah satu murid Confucius yang bernama Cu - Khong / Zhi Gong bertanya tentang pemerintahan yang kuat. Confucius menjawab harus cukup sandang, pangan, papan, persenjataan ( tentara yang kuat) dan kepercayaan. Cu Khong bertanya lagi, kalau ketiganya terpakasa ada yang tidak dipenuhi, manakah yang dapat ditinngalkan.Lalu Confucius berkata tinggalkan persenjataan ( tentara ). Tanpa adanya tentara pemerintahan akan berjalan dengan baik .Cu Khong bertanya lagi, kalau terpaksa tidak dapat dipenuhi dari dua yang masih itu, manakah yang dapat ditinggalkan. Lalu Confucius menjawab tinggalkanlah sandang dan pangan, yang penting adalah kepercayaan, yakni kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
Kepercayaan ( Trust ) merupakan salah satu factor yang penting bagi suatu badan usaha . hal ini dikarenakan apabila perusahaan melakukan pengkianatan terhadap suatu apabila kepercayaan tersebut terus dipelihara dengan baik, maka dapat menjadi suatu investasi dalam membina hubungan yang saling menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang.
               Menurut  Moorman et al.( 1992) mendefinisikan kepercayaan sebagai :
“ A willingness to rely on an exchange parner  in whom one hasconfidence. “
Schurr dan Ozanne ( 1985 ) dalam Ndubisi ( 2009a) menjelaskan kepercayaan sebagai “ The belief that are parner’s word promise is reliable and a party will fulfill  his/her obligations relationship “
              Menurut Reichheld dan Sasser( 1990 ) menyatakan bahwa “ Fulfilling promises that have been given is equally important as a means of achieving customer satisfaction, retaining the customer base, and  securing long-term profitability “ . Sirdeshmukh, Singh and Sabol ( 2002 ) menyatakan bahwa” There is a relationship between consumer trust and loyalty, when providers act in a way that builds consumer to make confident predictions about  the provider’s future behaviors “. 
           Kemudian menurut Morgan dan Hunt Bruhn ( 2003, p 655 ) mendefinisikan kepercayaan sebagai “ The customer’s willingness to forgot any additional and just rely on the corporation’s behavior in the future “.
           Menurut Doney dan Canon dalam Bruhn ( 2003,p 65 ), terdapat berbagai proses dalam pembangunan kepercayaan yaitu : 
a.Dalam sebuah calculated prosess, salah satu kelompok hubungan mengamsumsikan perilaku dapat dipercaya dari yang lain jika keuntungan dari mengamsumsikan perilaku dapat dipercaya dari perilaku tidak terpercaya lebih rendah dari biaya yang dikenakan ketika tertangkap.
b.Predictive process, kepercayaan tergantung pada kapabilitas seorang didalam mengantisipasi perilaku dari orang lain,
c.Capability process berhubungan pada perhitungan kemampuan dari kelompok hubungan untuk menyelesaikan pekerjaannya,
d.Berdasarkan pada intent process,kepercayaan didasarkan pada tujuan dan maksud dari kelompok yang lain, dan
e.Dengan mengacu pada transferring process, pembangunan kepercayaan merupakan subyek untuk sebuah perhitungan kelompok hubungan oleh pihak luar.
         Dari definisi definisi tersebut dapat terlihat bahwa kepercayaan pelanggan terhadap suatu perusahaan dianggap sebagai kepercayaan dalam  hal kualitas dan rasa dengan pengandalan jasa yang ditawarkan . Karena itu kepercayaan dianggap sebagai komponen yang paling penting dalam menjalin hubungan antar organisasi dengan pelanggan secara kooperatif.
Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa dapat timbul karena pelanggan menilai mutu produk dengan apa yang terlihat atau pahami .
         Para peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Ndubisi (2007a),Reichheld dan Sasser (1990), dan Ribbink, Riel, Liljander dan Streukens ( 2004 ). Dan Sirdeshmukh,Singh dan Sabol (2002) disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif kepercayaan terhadap loyalitas pelanggan. Adapun beberapa indicator kepercayaan yang digunakan  sesuai dengan penelitian Ndubisi (2007b) dimana merupakan pengujian first order yaitu janji janji yang diberikan oleh penyedia layanan dapat diandalkan,penyedia layanan konsisten dalam menyediakan layanan yang berkualitas,dan penyedia layanan memenuhi kewajiban terhadap pelanggan.
           Kepercayaan atau saling percaya adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi dan orang orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna.Transaksi antar kelompok menjadi sangat mahal, lambat , dan tidak dapat dipegang kesempatnnya ( Rhenald Kasali 2007 : 277 ).
           Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi / ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu Negara. Ketika masyarakat suatu bangsa tidak mempercayai pemimpin pemimpinnya maka biaya transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan rekan bisnis dari Negara lain, dunia perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga tidak bisa mempercayai system peradilan dan mata uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi hubuk di Negara lain, mencatat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnisnya. Sebuah institusi yang diwarnai dengan budaya saling tidak percaya sudah pasti tidak punya masa depan.


















Kepercayaan
XIN
Pelanggan Loyal
Menaikkan Volume Penjualan
Mempercepat Pengiriman Barang
Memperbanyak XUANXI
Mempermudah Transaksi
Sukses Jangka Panjang
Rendah Biaya Transaksi
Inovasi Baru
Memperlancar Produksi
Human Relation Baik
Pengembangan Perusahaan
Memperkuat Modal Kerja
Memperpendek Jalur Birokrat
Mudah Kredit
Keuntungan
Reputasi Integritas
Mudah dapat bantuan
Expansi
Teknologi Baru
Competitive
Advantage
 
























3. Cinta Kasih ( Ren )
Ren ( cinta kasih ) sebagai kebaikan / kebajikan bersifat timbal balik. Menurut Kosasih bahwa seorang penguasa atau majikan harus bertindak sopan santun , sebelum ia berhak memeriksa kesetiaan menterinya dan karyawannya. Sama halnya dengan seorang ayah harus ramah dan saying sebelum ia mengharapkan perbuatan bakti anak - anaknya ( Kosasih : 58 ). Etos Ren di atas mengandung arti bahwa pengusaha harus memberikan hal terbaik kepada pelanggan atau kolega bisnisnya agar pelanggan dan kolega memmberikan hal terbaik juga kepada pengusaha tersebut.
Cinta kasih sangat penting , karena tanpa adanya cinta kasih , maka orang tidak akan mungkin berlaku hormat , lapang hati , dan sebagainya. Cinta kasih adalah hati manusia. Perasaan belas kasihan itulah benih cinta kasih, maka orang yang tidak mempunyai perasaan berbelas kasihan itu bukan manusia.
Ada lima  pedoman cinta kasih yang terdapat pada Sabda Suci XVII: 6: 2 hal. 301, yang berbunyi :
“ Kalau orang dapat berlaku : hormat , lapang hati , dapat dipercaya , cekatan , dan bermurah hati . Orang yang berlaku hormat , niscaya tidak terhina ; yang lapang hati , niscaya mendapat simpati umum ; yang dapat dipercaya , niscaya mendapat kepercayaan orang , yang cekatan , niscaya berhasil pekerjaannya ; dan yang bermurah hati niscaya diturut   perintahnya . “

Contoh: antara atasan dan bawahan harus bisa menjaga sikap atau tingkah laku yang benar, sehingga membawa keharmonisan dalam lingkungan kerja. Sikap di sini termasuk dapat mengontrol hati .
Dalam Kitab Lun Yu terdapat 100 huruf Rend an menurut Confucius bahwa “ yang dikatakan Ren bila diri sendiri ingin tegak , maka berusaha agar orng lain tegak. Bila diri sendiri ingin berhasil , maka berusaha agar orang lainpun berhasil “ (Indarto : 1) . Confucius bersabda : “ Ren (Cinta Kasih ) ialah mencintai manusia” (Lun Yu / Lun Gie XII : 22.1). Selanjutnya dikatakan “ Kalau Aku (Confucius) inginkan cinta kasih itu sudah besertaku.” “Apa yang diri sendiri tiada inginkan , jangan diberikan pada orang lain (Lun Yu / Lun Gie XV : 24).
Pengertian di atas apabila dihubungkan dengan bisnis bahwa seorang wirausaha apabila ingin bisnisnya maju dan sukses , maka berusaha agar kolega bisnis , supplier (pemasok) , bahkan pelanggan diusahakan agar ikut maju dan berkembang juga. Namun sebaliknya tindakan atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pengusaha , harus diukur dulu terhadap perusahaan sendiri dan apabila kebijaksanaan yang tidak baik dan tidak bermanfaat bagi perusahaannya , jangan sampai kebijaksanan itu diberikan kepada perusahaan lain baik itu kolega bisnis maupun supplier.
Etos Ren merupakan The Golden Rule (Kaidah Emas) adalah bahwa setiap orang adalah manusia yang sama harkat dan martabatnya. Maka , apa yang Anda inginkan dari orang lain , itulah yang juga Anda lakukan pada orang lain. Sebagai orang bisnis , karena Anda sendiri ingin agar hak dan kepentingan Anda diperhatikan , maka hargai dan perhatikan juga hak dan kepentingan orang lain dalam kegiatan bisnis apapun yang Anda lakukan. Jika Anda sendiri tidak ingin hak dan kepentingan Anda dirugikan, maka jangan merugikan hak dan kepentingan bisnis orang lain. Prinsip - prinsip tersebut menurut Sonny Keraf , adalah dasar dari setiap relasi sosial manapun, termasuk bisnis. Bisnis tidak bisa bertahan dan berhasil kalau prinsip ini dilanggar (Sonny : 81). Maka seseorang yang memiliki Cinta Kasih tentunya akan banyak sahabat , banyak pelanggan dan tentu saja ini merupakan modal dasar untuk suksesnya bisnis yang kita jalankan.
4. Kebenaran ( Yi )
Kebenaran berbeda dengan cinta kasih, meliputi pemikiran yang memerlukan logika dan tindakan dari sudut pandang seseorang. Perasaan malu dan tidak suka adalah benih kebenaran, yang tidak mempunyai perasaan malu itu bukan orang lagi.
Contoh: sebagai seorang karyawan baru di sebuah perusahaan, perlu belajar tata cara atau prosedur kerja yang benar. Sehingga bisa beradaptasi dalam lingkungan kerja yang baru.
Bingcu berkata, “... Hidup, aku menyukai. Kebenaran, aku menyukai juga. Tetapi kalau tidak dapat kuperoleh kedua-duanya, akan kulepas hidup dan kupegang teguh Kebenaran. (kutipan salah satu ayat dalam Bingcu VIA: 10 hal. 698 )
Nabi bersabda , “Seorang Junzi terhadap persoalan di dunia tidak mengiakan atau menolak mentah - mentah , hanya Kebenaranlah yang dijadikan ukuran “ (Lun Gie Jilid IV : 10).
Nabi bersabda, “Luaskan pengetahuanmu dengan membaca Kitab - kitab , dan batasi dirimu dengan Kesusilaan. Dengan demikian kamu tidak melanggar Kebenaran “ (Lun Gie Jilid XII : 16).
Confucius berkata , “Seorang Junzi memegang Kebenaran sebagai pokok pendiriannya . Kesusilaan sebagai pedoman perbuatannya , mengalah dlam pergaulan dn menyempurnakan diri dengan laku dapat dipercaya “ (Lun Gie Jilid XV : 18). Ayat - ayat di atas apabila diterapkan dalam dunia bisnis bahwa dalam menjalankan perusahaan harus berdasarkan pada kebenaran.
            Di China etos Yi ( kebenaran ) menjadikan dasar atau pondasi dalam segala aktifitas bisnis. Menurut Lu Xiaohe etos Yi yang bersumber pada ajaran Confucius dijadikan landasan moral untuk mencapai keuntungan bisnis. Bisnis harus deraih berdasarkan moral Yi  menuju tercapainya keuntungan (Li ) atau cara Yi menuju Li. ( Journal of Business Ethics 16 :1509-1518,1997 ).
         Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal pokok diantaranya :
1.Perusahaan yang memiliki pimpinan yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang.
2.Kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebgai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
3.Kepercayaan akan mempercepat transaksi dan praktis
4.Dengan kepercayaan akan mempercepat pengiriman barang
5.Kepercayaan akan membuat rendahnya biaya transaksai
6.Kepercayaan akan memperpendek jalur dibokrat
7.Kepercayaan memudahkan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan
8.Kepercayaan setara dengan modal kerja
9.Kepercayaan akan menarik pelanggan pelanggan loyal
10.Kepercayaan akan memperbanyak jaringan dan memperkuat bisnis.









5. Kebijaksanaan ( Zhi )
Kebijaksanaan adalah pengetahuan tentang benar dan salah, baik dan buruk. Penting dalam penerapan norma-norma moral, tanpa itu seseorang tidak bisa menjadi bijaksana. Tanpa kebijaksanaan, seseorang tidak akan mempunyai etika atau kemampuan sosial, atau dalam bahasa yang sederhana perlu adanya bimbingan untuk menuju kebajikan yang lain.
Contoh: menjadi seorang manager adalah impian semua orang, namun perlu diingat tugas dan tanggung jawabnya juga besar. Dalam keadaan yang mendesak, harus bisa bersikap bijaksana dalam memutuskan sesuatu, sehingga keputusannya tidak akan berat sebelah. Perasaan membenarkan dan menyalahkan itulah benih kebijaksanaan, yang tidak mempunyai perasaan membenarkan dan menyalahkan itu bukan orang lagi.  (penggalan ayat suci  dari Bingcu II A : 6 : 4,5 hal.439 ).
Cu-he bertanya tentang kebijaksanaan , Confucius menjawab “ Angkatlah orang - orang yang lurus di atas orang - orang yang bengkok , dengan demikian dapat mengubah yang bengkok menjadi lurus” (Lun Gie Jilid XII 22: 4).
Confucius berkata , “ Bila diri telah lurus , dengan tanpa memerintah semuanya kan berjalan beres. Bila diri tidak lurus , sekalipun memerintah tidk akan diturut” (Lun Gie Jilid XIII : 6).
Ayat - ayat di atas apabila dihubungkan dengan bisnis , maka kebijaksanan yang diterapkan oleh seorang manajer atau wirausahawan haruslah bertumpu pada nilai - nilai bijak yang berlandaskan pada kebenaran. Seorang wirausahawan harus bisa memberikan teladan yang baik bagi anak buahnya agar anak buahnya juga bisa menerapkan kebaikan dalam menjalankan tugas pekerjaan dalam perusahaan.

6. Keberanian ( Yong )
Keberanian yang dimaksud di sini adalah berani dalam membela kebenaran . Kita diharapkan tidak takut menghadapi setiap permasalahan yang ada , dan kita juga diharapkan dapat bertanggung jawab dengan perbuatan yang telah kita lakukan. Jadi berani dapat diartikan pula sebagai bersikap kesatria. Kita dituntut untuk berani dalam menghadapi segala hal , karena dengan keberanian itu , akan membuat kita menjadi seorang yang bijak.
Dalam hal ini Confucius memberikan ilustrasi sebagai berikut :
“Kepada orang yang dengan tangan kosong berani melawan harimau , dengan tanpa alat berani menyeberangi bengawan , sekalipun binasa tidak merasa menyesal. Aku tidak memakainya. Orang yang Kupilih ialah yang di dalam menghadapi perkara mempunyai rasa khawatir dan suka memusyawarahkan rencana , sehingga dapat berhasil di dalam tugasnya” (Lun Gi Jilid VII : 11 ayat 3).
Implementasinya dalam dunia bisnis bahwa seorang manajer harus berani mengambil resiko dan berani melakukan perubahan - perubahan manajemen , berani mencoba peluang bisnis baru . Berani yang demikian ini sering disebut dengan “ Blue Ocean “.
   7.Kesusilaan ( Li )
                Li adalah adalah semacam aturan atau tatakrama bisa juga disebut prosedur yang tepat dalam menjalankan sesuatu . Orang Tionghoa sejak kecil sudah dididik untuk memiliki kepatuhan moral ini untuk mencari konsesus, pengendalian diri, memiliki tanggungjawab , berterimakasih kepada orang tua serta menghormati yang lebih senior. Penghormatan penghormatan kepada senior, orang lain bahkan para pelanggan bisnis  dengan sopan santun dan cara cara yang benar itu merupakan praktek dari Li.
                 Menurut Thomas Liem Tjoe  ( 2008 : 51 ) bahwa Li sebagai pengetahuan tentang bentuk bentuk tingkah laku yang mulia telah menjadi kebiasaan orang Tionghoa dan menjadi tingkahlaku para pelaku bisnis yang telah terpola dan mendasar dalam prinsip bisnis walau hal tersebut tidak dipamerkan dalam tulisan dan dibaca pelanggan tetapi mereka menghayatinya apa yang termasuk peritingkahlaku Li dan apa yang menyimpang dari Li dalam menjalankan bisnis.
                Orang awampun yang berbisnis dengan orang Tioghoa lama kelamaan akan memahami apa yang di sebut dengan Li. Hal ini bisa kita lihat dari ungkapan orang Tionghoa yang mengatakan sesuatu itu tidak pantas dalam prilakunya dengan kata “tidak Cenglie “. Ungkapan tidak cengli umumnya diberikan kepada pelanggan bisnis yang tidak memiliki aturan dalam bertransaksi bisnis maupun kepada sahabat yang berbuat menyimpang dari kebiasaan yang benar.
Kesusilaan terdiri dari kesetiaan , sikap baik,tanggungjawab, kesederhanaan , penghormatan , dan lain - lain. Perasaan rendah hati dan mau mengalah itulah benih kesusilaan. Bagi yang tidak mempunyai perasaan rendah hati dan mau mengalah itu bukan orang lagi.
Contoh: dalam bekerja, bertingkah lakulah sesuai dengan kesusilaan agar  sesama rekan kerja saling menghormati. Seperti yang terdapat dalam Bingcu VII B : 33 : 2 hal. 806 , yaitu  :
 “Bila segenap gerak, wajah dan tingkah laku dapat tepat dengan kesusilaan, itu tentu karena sudah mencapai puncak kebajikan sempurna.”

8.Hubungan / korelasi ( Xuanxi )

    Dalam bahasa Cina, guanxi adalah istilah untuk sebuah hubungan personal. Ia mengacu kepada jaringan hubungan informal dan pertukaran bantuan yang mendominasi segala aktifitas bisnis dan social yang terjadi di seluruh Cina dan Negara-negara lain dan area-area yang dipengaruhi kuat oleh budaya Cina (Kao, 1993; Hwang dan Staley, 2005; Lovett et al., 1999). Menurut Hwang dan Staley (2005), guanxi telah menjadi sangat penting bagi kebudayaan Cina selama lebih dari 2.500 tahun – semenjak jamannya Confusius. Confusius menyebarluaskan lima set hubungan yang sehat di dalam suatu masyarakat: peraturan/subyek, orang tua/anak, kakak/adik, suami/istri, dan teman-teman. Dari sejarahnya, masyarakat Cina di bangun mengelilingi klan-klan keluarga. Guanxi dibangun dari konsep klan dengan memperluas lingkaran pengaruh untuk mencakup saudara-saudara jauh, teman-teman, dan pada akhirnya individu-individu yang tidak berhubungan dengan keluarga ( Hwang dan Baker, 2000; Hwang dan Stanley,2005).
         Guanxi bekerja menurut satu prinsip dasar: Orang-orang yang berbagi suatu hubungan guanxi saling terikat pada satu sama lain oleh kode pertukaran timbal balik dan kewajaran yang tidak terucap (Luo,1997). Penting bagi para individu untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam lingkaran guanxi. Kegagalan seseorang dalam melakukannya hampir slalu menghasilkan kerusakan serius bagi reputasinya, yang mencakup kehilangan gengsi dalam lingkaran guanxi, kehilangan muka dan kehilangan kepercayaan dari sesama anggota lingkaran guanxi ( Hwang dan Staley,2005).
         Sehingga, pengolahan, pembangunan, dan pengembangan guanxi telah menjadi prioritas bagi banyak masyarakat cina (Hwang dan Staley, 2005; Luo, 1995). Di Taiwan dan Cina, para pelaku bisnis pertama-tama berjuang untuk membangun personal dengan calon pelanggan, setelah diterima dalam klan/keluarga guanxi, bisnis pun mengikuti. Yang menarik, ketika guanxi telah di realisasi, biaya marketing dan pengeluaran untuk hutang buruk menjadi lebih rendah, dan bisnis pun dijalankan dengan cara yang lebih efisien karena guanxi menciptakan satu kewajiban untuk menjalankan bisnis di dalam klan dan untuk membayar hutang (Hwang dan Baker,2000; Hwang dan Staley,2005).Di sisi lain Xuangxi membantu perusahaan untuk mengamankan transaksi komersial, memenangkan tawaran untuk proyek proyek umum, untuk memeroleh pinjaman dari bank Negara. (Ip Po Keung ). Dengan demikian menurut Ip Po Keung , erusahaan yang memiliki Xuangxi yang kuat sangat penting untuk keberhasilan perusahaan. 
         Kemudian, Yeung dan Tung (1996) menemukan bahwa guanxi merupakan satu-satunya yang secara konsisten dipilih sebagai faktor kunci kesuksesan dalam berbisnis di cina oleh sekelompok perusahaan internasional yang beragam; dan Luo (1997a,b) menemukan bahwa sebuah korelasi langsung antara level guanxi suatu perusahaan dan pertumbuhan penjualan domestiknya di Cina.
   
Hubungan atau korelasi adalah pelicin usaha dan dasar bagi sebagian besar hubungan professional dan sosial (Boye :35). Hubungan atau korelasi bisa juga berarti hubungan kekeluargaan. dalam ajaran Confucius ada lima hubungan yang wajib dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang harmonis . Hubungan antara atasan dan bawahan , hubungan antara sahabat dan kawan , hubungan anak dengan orang tua , hubungan kakak dengan adik , hubungan antara suami dan istri  ( David:50). Dari kelima hubungan tersebut berkembang menjadi enam hubungan yaitu hubungan antara murid dengan guru.
Orang - orang Cina di Asia Tenggara memelihara struktur sosial yang terjalin erat yang memungkinkan hubungan ekstensif dan informal di antara anggota - anggotanya . Hubungan - hubungan sosial dimulai pada tingkat keluarga dan meluas pada hubungan kekerabatan non keluarga yang terkait oleh nama keluarga yang sama , daerah asal yang sama , atau kelompok dialek yang sama. (David CL Ch’ng:45 ).
Praktek - praktek bisnis orang - orang Cina perantauan muncul terutama sekali dari pengaruh Confucius ini menjadi alasan untuk bekerja dan raison d’etre (alasan keberadan ) dari kecakapan berwiraswasta orang - orang Cina (David :51).