SUMBANGSIH
AGAMA KHONGHUCU TERHADAP KEBERHASILAN BISIS ETNIK TIONHOA SERTA MEMBERI WARNA
CANTIK DALAM BISNIS (SUATU KAJIAN LITERATUR )
Js.Drs.Ongky
Setio Kuncono,MM,MBA *
( Mahasiswa
Pasca Sarjana Program Doctoral Universitas 17 Agustus 1945 )
SEK APUR SIRIH
Siang ini
tanggal 5 September 2011ketika dalam perjalanan menuju ke kantor tiba tiba handphone
ku bordering, seorang wanita mengucapkan “wi tik tong Thian” dengan suara lantang. Ini Haksu Thjie Tjay Ing mau bicara dengan
Js.Ongky . Rupanya Haksu meminta saya untuk mengirimkan makalah untuk dicetak .
Sungguh aku merasa gembira sekali karena ini sebuah kepercayaan yang sangat
luar biasa kepada seorang Ongky yang masih belajar tentang Agama Khonghucu.
Barangkali Haksu telah memeberi kesempatan kepada generasi muda agar selalu
berkarya sebagai penerus sekaligus melestarikan ajaran Ru Jiao. Kalau tidak
kepada kita kita ini, harus kepada siapa ?. Sementara hari itu pula saya
menerima SMS dari Js.Liem Tiong Yang yang mengabarkan bahwa Ws.Ir.Wastu
Pragantha Chong telah meninggalkan kita untuk selama lamanya. Sungguh kita
telah kehilangan seorang tokoh Ru Jiao yang menurut saya Pak Chong adalah
seorang tokoh penggerak pemuda yang telah memberi api spirit tiada pernah
berhenti untuk belajar. Beberapa buku, kliping, bahan bahan baru tentang
Khonghucu selalu aku dapatkan dari beliau. Bagi aku, pak Chong adalah salah
satu seorang penulis Khonghucu yang tulisannya banyak dikutip oleh para
peneliti seperti Dr.Lasiyo, Lukas ( Universitas Petra ),dan beberapa penulis
lainnya, sehingga secara strategis sangat berguna sebagai sarana informasi
menyuarakan Ru Jiao di kalangan akademik Indonesia. Kita butuh sekali penulis
pemulis seperti Pak Chong pada saat sekarang agar Khonghucu tidak dilihat
sebelah mata, melainkan orang orang diluar Khonghucu semakin banyak yang
memahami Khonghucu bukan sekedar agama yang statis tetapi suatu agama yang
mencakup berbagai aspek kehidupan yang nyata. Ajaran agama Khonghucu bisa
menyetuh sendi sendi kehidupan nyata kemanusiaan. Justru yang demikian inilah
yang dikatakan dengan suatu agama yang
hidup dan berguna secara nyata dalam kehidupan manusia. Nabi Kongzi pun berkata
hendaknya kita semua harus mengerti kehidupan sebelum mengerti hal kematian.
Ayat tersebut hendak menjelaskan kepada kita bahwa agama itu harus berfungsi
dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agama yang berfungsi dan berguna bagi
kehidupan manusia mencakup aspek aspek ekonomi, kesehatan, psikologi disamping
mental spiritual. Sisi sini inilah yang sekarang lagi dikembangkan oleh agama
agama lain seperti Islam dan Kristen dalam mengaplikasikan nilai agamanya dalam
dunia bisnis. Oleh karena itulah sangat sempit apabila orang orang kita masih
menganggap bahwa agama itu hanya berbicara tentang keimanan melulu. Agama mencakup aspek yang sangat luas, seluas aspek kehidupan manusia.Biarkanlah
para pemikir Khonghucu memeberikan corak yang berbeda beda didalam menggali dan
mempraktekannya.
Berkaitan
dengan hal diatas, saya mencoba menulis
dengan melihat Khonghucu dari sisi
kehidupan yang setiap hari kita
jalankan. Bagaimana sumbangsih Agama
Khonghucu terhadap keberhasilan bisnis etnik Tionghoa serta memberi warna yang cantik dalam
berbisnis. Semoga melalui tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan
ekonomi merupakan hal yang amat penting bagi pembangunan suatu negara. Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan sebuah negara untuk memiliki
anggaran yang cukup untuk melakukan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai pertumbuhan
ekonomi, sebuah negara perlu memberdayagunakan modal dasar yang dimilikinya.
Modal dasar sebuah negara dapat berupa
sumber daya alam (tangible capital) maupun sumber daya manusia (intangible capital). Sumber daya alam
dan sumber daya manusia amat berperan penting bagi kemakmuran suatu negara.
Oleh sebab itu, sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu dikelola oleh
Pemerintah. Dengan pengelolaan yang
tepat, sumber daya tersebut dapat digunakan dan bermanfaat bagi peningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Sumber
daya alam merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan faktor
geografis suatu negara. Setiap negara memiliki sumber daya alam yang
berbeda-beda, bahkan ada pula negara yang tidak memiliki sumber daya alam.
Berlawanan dengan sumber daya alam yang merupakan benda mati dan faktor yang
bersifat tetap, sumber daya manusia merupakan sumber daya yang dikaruniai akal
budi yang dapat terus-menerus diasah dan ditingkatkan dalam memanfaatkan sumber
daya alam. Hal ini menjadikan sumber daya manusia adalah kunci bagi kemakmuran
sebuah negara bangsa. Pemanfaatan sumber daya alam tergantung pada faktor
sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan agen pembangunan
ekonomi sebuah negara. Oleh sebab itu, pengembangan
pengelolaan sumber daya manusia perlu dilakukan
secara tepat.
Indonesia
merupakan negara yang kaya sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut
data statistik Bank Dunia tentang populasi dunia, dengan populasi penduduk
sekitar 230 juta jiwa pada 2009, Indonesia adalah negara dengan populasi
terbanyak keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat (World
Bank, 2011). Populasi yang sedemikian besar tersebut seyogyanya dipandang
sebagai potensi yang perlu diberdayagunakan. Beberapa studi empiris terhadap
keterkaitan sumber daya manusia terhadap kemakmuran suatu negara dengan
menggunakan data lintas negara membuktikan bahwa level sumber daya manusia
suatu negara secara signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan
produktivitas total dari faktor produksi dan peningkatan produk domestik bruto
(Benhabib dan Spiegel, 1994; Barro, 1991). Level sumber daya manusia yang
semakin tinggi akan berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas produksi yang
akhirnya meningkatkan produktivitas total faktor produksi (total factor productivity, TPF).
Disisi lain, level sumber daya
manusia yang tercermin pada tingkat pendidikan yang diterima, juga berpengaruh
positif terhadap level pendapatan domestik bruto (Gross Domestic Bruto, GDP).
Kekayaan
sumber daya manusia Indonesia yang ditambah dengan keanekaragaman budaya
merupakan aset berharga yang berpotensi meningkatkan kemakmuran suatu negara. Sumber daya manusia
Indonesia dan kebudayaan yang beranekaragam ini apabila dikelola dengan benar
dan sungguh sungguh, maka akan terbentuklah manusia Indonesia yang handal, dan
profesional dalam mengelola alam untuk kemajuan ekonomi yang pada akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur
seperti yang pernah dialami ketika jaman Majapahit dan Sriwijaya.
Karakteristik pembangunan ekonomi suatu
negara juga amat dipengaruhi oleh karakter budaya yang berkembang. Awal mula
pembangunan ekonomi yang berlandaskan kapitalisme terjadi di negara-negara
Barat yang lebih menggunakan praktek-praktek bisnis yang lebih mengarah kepada
kepentingan indidual untuk memperoleh kekayaan (Brook dan Luong, 1999). Sebaliknya, ideologi kapitalisme tidak
serta-merta mempengaruhi pokok-pokok pembangunan ekonomi di negara-negara
Timur. Weber (1951) berpendapat bahwa budaya Konfusianisme yang menekankan
prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan antar sesama manusia telah menghambat
perkembangan kapitalisme di negara-negara
Timur yang kental dengan budaya Konfusius.
Dalam tatanan budaya, terdapat banyak
komponen pembentuk sebuah budaya. Dalam sebuah budaya, terkandung unsur
nilai-nilai informal, dan norma-norma yang membentuk karakter dan pola perilaku
ekonomi manusia. Pengaruh budaya dalam perilaku ekonomi terlihat pada pengaruh
budaya terhadap aktivitas produksi, pola konsumsi dan produktivitas, melalui
kemampuan individu untuk menciptakan dan mengendalikan sebuah institusi, dan
melalui kemampuan individu menciptakan jaringan sosial (Fukuyama, 2001).
Seymour (1992) menjelaskan bahwa etos kerja sangat berpengaruh besar pada
kesuksesan Jepang dan negara-negara industri baru terutama kesuksesan dalam
bidang ekonomi.
Penelitian oleh Tu (1989) menemukan
keseragaman konsep etika dasar dan sistem nilai pada negara-negara China,
Jepang, Korea, dan negara industri baru lainnya. Masyarakat etnis Tionghoa
terutama di negara China dan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong,
dan Singapura), termasuk Indonesia, memiliki kesamaan karakteristik dalam
berbisnis. Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis Tionghoa selalu berpegang
pada etos kerja disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam
pelaksanaan tugasnya. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran
Konfusius yang telah menjadi budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa
tercermin dalam etos kerja pekerja-pekerja di negara-negara industri baru.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaw,
et.al (2007) terhadap para pekerja Tionghoa, terdapat pengaruh antara
nilai-nilai budaya Tionghoa dengan nilai-nilai yang dianut pada saat melakukan
pekerjaan. Pada umumnya, etnis Tionghoa
memiliki etos kerja yang sangat disiplin, mau bekerja keras dalam situasi yang
berat, hemat, jujur, konsisten dalam pelaksanaan tugasnya. Tipikal kerja yang
demikian tidak terlepas dari nilai-nilai Konfusius yang telah ditanamkan dalam
keluarga sejak kecil.
Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa
juga tidak terlepas dari nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-nilai budaya
Tionghoa dipandang memiliki peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah
organisasi bisnis dan praktek manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa (Sheh,
2001). Bagi etnis Tionghoa, perusahaan bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi
dimana cara-cara menjalankan perusahaan tersebut amat dipengaruhi oleh
nilai-nilai Konfusius. Nilai-nilai Konfusius telah berkembang menjadi bagian
yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa ( Mely G Tan ,1996 : 52
). Konfusianisme merupakan sistem etika
dan filosofi yang diajarkan oleh Konfusius, seorang filsuf sekaligus agamawan
dari China. Pada hakekatnya, ajaran Konfusius merupakan sebuah sistem yang mengajarkan
tentang moral, sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang
menitikberatkan pada kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu
(Tu, 1989). Konfusianisme berkaitan dengan moral dan aturan yang mencakup
bagaimana seharusnya seorang individu berinteraksi terhadap Tuhan dan
sesamanya, baik dalam lingkungan kecil yakni tingkat keluarga, berinteraksi
pada masyarakat (pada tatanan
organisasi), dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan)
bahkan interaksi dalam kerjasama internasional ( dalam hubungan dengan antar
Negara ).
Budaya
Konfusius juga menanamkan sikap dan perilaku
untuk bekerja keras, hemat, suka menabung, tidak putus asa dan menjaga
nama baik melaui kepercayaan telah mengakar pada tradisis Tionghoa. Mengakarnya ajaran Konfusius dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Tionghoa, telah menjadikan ajaran Konfusius sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Tionghoa ( Indarto ). Hal inilah yang
menyebabkan setiap membicarakan budayaTionghoa tidak bisa begitu saja
melepaskan tentang Confucius dan begitu pula sebalikknya setiap berbicara
Confucius selalu berkaitan dengan budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa yang
diwakili Etika Confucius bukan saja membudaya, melainkan telah menjadikan
perilaku nyata dalam kehidupan sehari hari bahkan telah berpengaruh positif
terhadap tingkahlaku bisnis orang orang Tionghoa. Seperti yang dikatakan Tan
bahwa nilai-nilai loyalitas terhadap
keluarga yang diajarkan Konfusius ini
diyakini menjadi latar belakang kesuksesan pembangunan ekonomi Singapura (Tan,
1989).
Kosasih
Atmowardono ( 1995 : 68 ) mengatakan bahwa sebagai filsafat social
Konfusianisme mempengaruhi perilaku hidup yang juga perilaku ekonomi. Bangsa
Jepang dan juga bangsa Asia lainnya yang mengikuti Jepang secara ekonomi
seperti Korea, Taiwan, Vietnam, Singapura, Hongkong dan sebagian besar dari
golongan etnis Cina di Malaysia, Indonesia, India dan di lain Negara,
terpengaruh oleh filsafat social Konfusianisme.
Ongkowijaya
( 1995 : 103 ) melalui kajiannya menunjukan ada benang merah dibalik sikap dan
pandangan hidup etnik Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran moral Konfucius.
Khonghucu ( Konfusius ) telah mempengaruhi mereka dari turun-temurun sepanjang
sejarah kehidupan bangsa. Fakta demikian tentu mempunyai kadar pengaruh tidak
kecil terhadap tingkah laku kehidupan, yang pada gilirannya sedikit banyak
masih terbawa dalam pola bisnis di kalangan mereka.
Kalau melihat
beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan pada berbagai kota
besar di tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada umumnya disepanjang
jalan raya dipenuhi dengan pertokoan, perkantoran, restoran, dan sebagaian
besar dimiliki atau setidaknya dikuasai oleh masayarakat Tionghoa (WNI atau WNA
) . Hal ini merurut Wastu Ptagantha Chong dapat dikatakan salah satu indikator
bahwa dewasa ini mereka telah berhasil dalam menjalankan bisnis ( WP Chong
,1996 : 5 ).
Kenyataan
tersebut diperjelas pula oleh Zhihong
Gao dan Joe H. Kim ( 2009 : 77 ) bahwa masyarakat Konfucian telah mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cepat pada dekade terakhir, pertama dipimpin oleh
Jepang, kemudian diikuti oleh “Four Mini-Dragons” , seperti Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong dan Singapora dan yang terbaru daratan China.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Konfucius dibeberapa Negara tentu
saja juga akan berdampak pada
perkembangan nilai nilai Konfucius di Negara Indonesia dalam penerapannya
kedalam dunia bisnis. Apalagi dengan dibebaskan kembali ajaran kegamaan
Khonghucu di Indonesia sejak pemerintahan Gus Dur, banyak pengusaha Indonesia
yang biasanya bungkam diri, akhirnya
mulai berbicara tentang manajemen dan bisnis ala Confucius. Hal ini akan
mengingatkan kembali nilai nilai lama yang telah hilang dibicarakan dalam satu
generasi.
Khususnya di Indonesia, Confucius
atau Konfusius terkenal dengan istilah Khonghucu ( (Khong Fu Ze ), ada sebagian
orang yang menyebut Konfusianisme adalah penerus Ji Kau ( agama kaum lemah
lembut ) yakni Agama Khonghucu sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (
Khonghucu ) itu sendiri. Menurut
Dr.Lasiyo Khonghucu mengarah pada dua
istilah Ju Chiao yang mengarah pada keagamaan sedangkan yang satunya lagi
disebut Ju Chia ( tanpa o ) mengarah pada suatu aliran filsafat. Baik Filsafat
maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut dengan Confucius . Beliau ( Confucius ) adalah tokoh yang
menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum
kelahirannya. Dari Raja Fuxi sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu,
sedangkan Konfusius sudah sekitar 2.500 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang
itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau ( Confucius ) begitu melekat pada orang
orang Tionghoa sepanjang sejarah yang ada. Ajaran Konfusius juga meringkas dari
beberapa tokoh terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Konfusius sehingga berjalan serta berkembang hingga kini hampir
juga 5.000 tahun. Dalam hal ini Konfusius
berkata “ Aku bukanlah pencipta melainkan aku menyukai ajaran ajaran kuno
tersebut “ ( Lun Gi VII : 1 ). Artinya
bahwa Konfusius adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno
itu sebagai etika moral dan agama yang begitu kental melekat pada etnis
Tionghoa yang masih menjalankan dan menerapkan ajarannya.
Disamping
Konfusius adalah suatu ajaran filsafat dan etika moral juga sebagai suatu agama
yang didalamnya terdapat ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya ( Adi
Nugroho : 13 ). Secara agama atau kepercayaan dan etika moral, ajaran Konfusius akan mendorong
pengikutnya untuk mencapai
kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan hidup secara harmonis melalui
persembahan pada leluhur dan Tian . Sebagai agama, Konfusius mengajarkan suatu
kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya bahwa seorang yang bajik itu pasti
mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti yang dikatakan Konfusius “ Maka
seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat berkah, kedudukan, nama dan
panjang umur “ ( ZY XVI : 2 ). Kepada
yang berbuat baik akan diturunkan beratus berkah, kepada yang berbuat tidak
baik akan diturunkan beratus kesengsaraan ( Shu Jing IV.IV.8 ). Keyakinan akan
perbuatan kebajikan oleh orang Tionghoa yang pada akhirnya membawa berkat,
rejeki , kesuksesan dan panjang unur itulah yang menyebabkan orang Tionghoa
bekerja keras berdasarkan pada nilai nilai kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya
berbisnis dengan bajik itulah Tuhan akan meridhoinya. Hal ini sesuai dengan
ajaran Confucius yang mengatakan “ Wi Ti Thong Thian “ ( Hanya dengan Kebajikkan
saja Tuhan akan berkenan ).
Ajaran
Konfucius diatas dalam kontek rasional
sebenarnya menjelaskan kepada kita tentang hubungan antara etika dengan
kesuksesan seperti halya tesis Max Weber yang sebenarnya membahas antara
hubungan motif dengan tindakan (
Abdullah : 17 ) .
Ajaran
tersebut diatas menjadikan orang Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan
karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan kesuksesan dalam hidupnya,
sebalikknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral ( tidak bajik
) dikarenakan takut akan kesengsaraan . Untuk itulah orang orang Tionghoa
berusaha bekerja keras sesuai dengan jalan Tuhan ( kebajikan ) untuk mencapai
kesuksesan yang benar.
Dari
ajaran Konfucius selanjutnya berkembang
dan timbul istilah istilah seperti
rejeki, keberuntungan ( hokkie ), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama
orang orang Tionghoa. Semua praktik tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie .
Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi ( konsultasi nasif ), gwamia ( ramalan
), shio ( horoskop ), dan hongsui ( tata letak bangunan ) yang berhubungan
dengan hawa ( chi ). Dan banyak pula
istilah istilah seperti cengli ( masuk akal ) , Cinjay ( tidak terlalu hitungan
) dan Cuan ( keuntungan ). Istilah tersebut diatas menjadi umum dan selalu
dibicarakan ketika kita berhubungan bisnis dengan orang Tionghoa. Secara umum pergaulan orang Tionghoa dalam bisnis selalu harus Cingcay dan Cengli dan jangan sampai
Ciak ( tidak bayar hutang ) akhirnya Cao ( berlari ). Istilah istilah umum
diatas kalau kita kaji tentu saja tidak
jauh dari ajaran Confucius itu sendiri.
Pokok
ajaran Konfusius adalah bahwa manusia dilahirkan didunia ini memiliki
kebajikan-kebajikan yang diberikan Tuhan berupa Ren ( Cinta Kasih ), Zhi
(Keijaksanaan) dan Yong ( Keberanian) yang disebut dengan Tri Pusaka.
(Tiong Yong BAB XIX : 8, P61 ).
Menurut
Xs.Tjhie Tjay Ing ( 2006 : 4 ) bahwa dengan
Ren (arti: cinta kasih; Mandarin: 仁; pinyin: rén),
manusia akan mendapatkan landasan dan sandaran bagi motif perbuatannya. Tentu
saja hal ini akan mencerminkan cara-cara dalam berbisnis. Bahwa segala tingkah
laku dan perbuatan bisnis tidak boleh meninggalkan nilai nilai kemanusiaan
karena pada hakekatnya bisnis yang didak dilandasi oleh nilai nilai
kemanussiaan Ren, akan mengalami suatu kemunduran.
Dengan Zhi
(arti: pengetahuan; Mandarin: 智) manusia mampu menangani dan memecahkan
segala persoalan secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis,
maka akan menjadikan seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil
segala keputusan manajemen. Dengan Yong (arti: keberanian; Mandarin: 勇
), manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam menghadapi tantangan atau
meraih cita cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan mendorong
jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi ( Bingcu ), pengikut
Konfusius, Kebajikan itu dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti:
aturan-aturan kesusilaan dan tata krama; Mandarin: 禮 ) ( Bingcu VIIA,22:4 ). Dengan Li (
aturan-aturan susila dan tata krama), akan menjadikan seorang Wirausahawan
bersopan santun, bertata krama dalam menerapkan bisnisnya. Selanjutnya dikembangkan terus oleh Tung
Zhong Shu ( 179-104) dengan menambahkan Xin (arti: kepercayaan; Mandarin: 信).
Dengan Xin ( Kepercayaan ) akan mempercepat proses transaksi dan pengiriman
barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya akan berpengaruh pada
kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Pada
prakteknya, nilai-nilai Konfusius ini berkembang dari waktu ke waktu, dimana di
abad XXI kebajikan jumlahnya menjadi
enam yakni Ren (cinta kasih, 仁),
Yi (nilai-nilai kebenaran, 義),
Li (aturan-aturan susila dan tata karma, 禮),
Zhi (pengetahuan, 智), Xin (kepercayaan, 信). Bahkan di Jepang ajaran Confucius
berkembang pula menjadi etos kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang,
terdiri dari tujuh prinsip yaitu, Yi (義,
nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata karma, 禮),Yong
(keberanian, 勇), Ren (cinta kasih, 仁), Xin (kepercayaan, 信), Yu
( reputasi, 誉 ), dan Zhong (kesetiaan, 忠 )
( Maria Engeline : 16 ).
Gambar 1
Etika Konfusius abad ke-21
Ren
Humanity
|
Di
Ren
|
Ren
Yong
|
Li
Properiety
|
Tian
Zhi
|
Yi
Rightness
|
Zhi
Wisdom
|
Li
Properiety
|
Zhi
Wisdom
|
Li
Properiety
|
Ren
Humanity
|
Ren
Humanity
|
Yi
Rightness
|
Xin
Trust
|
Zhi
Wisdom
|
Xin
Trust
|
Yi
Rightness
|
Yong
Courage
|
Sumber Wastu Pragantha Chong
Kebajikan
kebajikan diatas tentunya merupakan inti ajaran Konfucius yang dibahas secara
filosofi dan dbicarakan dengan murid muridnya.
Dengan Kebajikan kebajikan diatas itulah
manusia wajib mengembangkan dalam kehidupam bermasyarakat dan bernegara
bahkan dalam dunia bisnis. Kebajikan itu bisa dilakukan manusia karena memang
manusiawi melalui belajar dan dilatih. Hanya dengan belajarlah manusia bisa
menjadi Junzi ( manusia ideal pandangan Konfusius ) yang tentu saja memiliki
kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.
Jun-zi
(Mandarin: 君子;
pinyin: Chun Tzu ) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris disebut (
gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena keturunan tetapi karena
keagungan watak dan tingkah laku yang baik. Menurut Confucius bahwa setiap
manusia berpotensi menjadi Junzi ( Chun Tzu ). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin:
君子)
menurut Confucius : Chun Tzu ( Junzi ) adalah seorang pemberani yang dapat
menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan senantiasa
berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya ( Dawson 1981 : 54). Adapun sifat sifat yang dimiliki oleh seorang
Junzi adalah :(1) setia dan selalu berbuat baik serta berusaha untuk mawas
diri, ( 2 ) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya
sendiri, (3). mengutamakan masalah moral ( Dawson 1981 : 55 ).
Oleh
karena itu seorang Junzi selalu berusaha untuk hidup dan bekerja sama dengan
masyarakat dimanapun ia berada, agar dengan demikian ia mempunyai jiwa social
yang tinggi mau beramal apa saja demi untuk kepentingan masyarakat bangsa dan
negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang
masalah moral, karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu
bangsa, tanpa landasan pada moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan
( Ya’qub 1978 : 26 ).
Setelah China kembali pada
ajaran-ajaran Nabi Khongcu ( revolusi ekonomi sejak 1984 ) , maka bisa dilihat
betapa hebat kemajuannya. Dengan sumber daya manusia yang memiliki etos kerja 5
kebajikan, Cina kini menjadi nomor satu di dunia dalam berbagai bidang, sebut
saja ekonomi, budaya, olahraga, teknologi, dan lain sebagainya. Produk-produk
Cina kini tersebar di seluruh dunia dan penjualannya mengalahkan produk-produk
dari negara-negara maju lainnya. China tak diragukan lagi telah melakukan lebih
baik dalam hal pengembangan kemanusiaan dibandingkan dengan bencana pada era
melompat jauh kedepan ( great leapforword ) dari tahun 1958 sampai 1962, dan
era revolusi kedudayaan dari tahun 1966 sampai 1976. Beberapa decade dari
pertumbuhan yang cepat sejak itu sudah mengangkat ratusan juta orang dari
kemiskinan. Tingkat melek huruf telah meningkat 60 %menjadi 85 %dan 90 % nya
diantaranya orang berusia 12-40 tahun ( Peter Engardio : 13 ). China
diperkirakan pada pertengahan abad akan mengambil alih posisi no 1 Amerika
bahkan para pembuat kebijaksanaan di Washington sedang memublikasikan berkas
tebal yang menunjukan kemajuan pesat China dalam bidang mikroelektronik,
teknologi nano, dan angkasa luar serta menggambarkan skenario suram mengenai
apa yang akan dialami oleh kepemimpinan AS secara global ( Peter P 21 ). China
dengan pertumbuhan sebesar 9,5 % sejak tahun 2004 (Peter p 25 ) tentu saja kedepannya dengan himpitan
ekonomi, kudeta, perselisihan politik dan managemen salah urus semata mata
telah mengalihkan banyak keajaiban ekonomi dari asia tenggara ke Amerika Latin
(p 28 ).
Kemajuan China juga
diikuti oleh kemajuan Empat Macan Asia ( Korea Selatan , Singapura, Taiwan, dan
Hongkong ) antara tahun 1975 dan 1988 menaikan bagian mereka dari eksport total
barang manufakturdunia dari 4 % menjadi 11 % . Antara tahun 1985 dan 1987,
mereka meningkatkan bagian mereka dari eksport dunia berupa barang barang elektronik
konsumen dari 15 % menjadi 30 % . Delapan dari sepuluh pekerjaan di Taiwan
bergantung pada ekspor. Dua pertiga dari keluaran total barang dan jasa
Singapura dieksor. Cadangan devisa dari Empat Macan Asia kini berjumlah S 100
miliar dan diperkirakan bertambah terus ( John Naisbitt & Patricia Aburdene
: 166 ).
Khususnya Indonesia banyak pengusaha sukses dari kalangan
Etnik Tionghoa yang kalau dikaji ternyata memiliki kesamaan ciri dengan Etnis
Tionghoa di beberapa Negara seperti Singapore, Malaysia, Taiwan dan Hongkong.
Kesamaan karakteristiknya adalah bahwa Etnis Tionghoa dalam berbisnis secara
kekeluargaan, xuangxi, dan prinsip
prinsip kepercayaan. Kesamaan tersebut kalau ditarik ternyata berkaitan dengan
ajaran Confucius.
Dapat dipastikan bahwa
kemajuan China dan Empat Macan Asia dan
bila dilihat dengan kondisi bisnis Etnik Tionghoa memiliki kesamaan yakni Etika
Confucius dijadikan landasan sebagai etos kerja yang tentu saja memiliki
hubungan dengan Kewirausahaan dan Kemampuan Usaha serta Kinerja usaha. Bahkan pada tahun 1988,
74 pemegang Nobel dunia membuat pernyataan di Paris bahwa jika manusia ingin
hidup dalam perdamaian dan kemakmuran di abad 21, mereka harus melihat
kebelakang 2.500 tahun yang lalu dan mencari kebijaksanaan Confucius.
“ In 1988, 74 Nobel Prize winners made the
assertion in Paris that if human being want to live in peace and prosperityin the 21 st century, they mush
look back 2,500 years and seek the wisdom of Confucius” ( Youmin Zhang ).
Hampir dapat kita pastikan
bahwa berbicara tentang etos Tionghoa maupun budaya Tionghoa dalam literatur,
buku dan jurnal tidak lepas dari bicara tentang Confucius. Menurut Indarto Confucius sebagai pusat budaya Tionghoa
mempuyai andil besar dalam bangkitnya pekenomian China dan beberapa Negara
tepian pasifik. Beberapa kajian secara empiris menunjukan bahwa ada hubungan
positif antara etika tradisional Confucius dengan perilaku ekonomi di China dan empat Macan
Asia .
PERMASALAHAN
Seperti telah kita ketahui bahwa sekarang ini hampir 80%
pengusaha yang sukses berasal dari kalangan Tionghoa ( Usman,2009: 309 ). Hal itu dikarenakan kemampuan dan
kinerja mereka yang ulet dan tangguh. Prinsip orang Tionghoa, ”Apa yang kami
lakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tapi untuk kedepan” Jadi kedepan
untuk apa ? Sehingga perlu modal, modal bukan hanya uang saja, tapi bisa juga
keterampilan, semangat dan kepercayaan sehingga harus pandai bergaul serta
berkomunikasi dan hubungan atau koneksi ( quanxi ). Perdagangan adalah lahan
satu-satunya yang paling memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan bergaul,
saling kenal dan membangun relasi. Begitu juga menjadi pedagang bukan karena
faktor keturunan. Ini lebih berkaitan dengan pendidikan awal di lingkungan
keluarga sebagai akar budaya khas, dengan alasan keluarga Tionghoa tidak
semudah suku lain sehingga mereka bekerja keras.
Selain itu ajaran - ajaran Confucius juga sangat
berpengaruh dalam kehidupan bisnis yang mereka jalankan , karena mereka
berpegang teguh pada ajaran - ajaran Confucius di antaranya : perubahan ( Yin Yang ) , kepercayaan ( Xin
) , cinta kasih ( Ren ) , kebenaran (
Yi ) ,kebijaksanan ( Zhi ), keberanian (Yong ) , kesusilaan ( Li ) , dan jaringan / hubungan ( Xuansi ) .
Kedelapan ajaran tersebut sangat berguna untuk
menjalankan usaha bisnis mereka , karena antara faktor yang satu dengan faktor
yang lainnya saling berkaitan . Oleh sebab itu dalam kajian ini , penulis akan
mencoba membahas kaitan nilai nilai Konfucius diatas terhadap kesuksesan bisnis
etnik Tionghoa .
BATASAN MASALAH
Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah bahwa etos Confucius sangat berpengaruh terhadap kesuksesan bisnis etnik
Tionghoa. Hal ini diduga antara lain dipengaruhi oleh beberapa indikator dari
etos Confucius , di antaranya : faktor perubahan (Yin Yang) , kepercayaan (Xin), cinta kasih (Ren ) , kebenaran (Yi)
,kebijaksanan (Zhi), keberanian (Yong), kesusilaan ( Li ) , dan jaringan atau hubungan ( Xuansi ) .
PENGERTIAN ETIKA ( ETHOS )
Ethos adalah salah satu kata
Yunani kuno yang masuk dalam banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti
yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu sebaiknya ditulis juga
menurut ejaan aslinya. Sepintas lalu boleh diingatkan kembali bahkwa kata ini
merupakan asal usul pula bagi kata seperti etika dan etis. Dalam bahasa modern,
ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok.
Dalam Concise Oxford Dictionary ( 1974 ) ethos disifatkan
sebagai characteristic spirit of
community, people or system, suasana khas yang menandai suatu kelompok,
bangsa atau system ( K Bertens :224 ).
Menurut K Bertens ( 2007 ) etika yang berasal dari bahasa Yunani kuno
itu dalam bentuk kata tunggal yang mempunyai banyak arti yakni : tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat,akhlak, watak, perasaan, sikap , cara berpikir. Dalam
bentuk jamak ( ta etha ) artinya adalah : adat kebiasaan .
Ethos
adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk dalam banyak bahasa modern persis
dalam bentuk seperti yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu
sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Sepintas lalu boleh diingatkan
kembali bahkwa kata ini merupakan asal usul pula bagi kata seperti etika dan
etis. Dalam bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang
menandai suatu kelompok. Dalam Concise
Oxford Dictionary ( 1974 ) ethos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasana khas
yang menandai suatu kelompok, bangsa atau system ( K Bertens :224 ).
Secara etimologis diatas istilah ethos berarti “ tempat hidup “ yang
dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos
berevolosi dan berubah makna menjadi semakin komplek. Dari kata yang sama
muncul pula istilah Ethikos yang berarti “teori kehidupan” , yang kemudian
menjadi “etika” ( Ferry Novliadi 2009: 4).
Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu (1)
suatu aturan umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku,(3)
penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkahlaku. Dari kata
ethos, terbentuklah kata ethtic yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal
pula etiket yaitu cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak ( moral ). Maka Etika
sama dengan Ethos yang secara etimologis memiliki arti adat kebiasaan yang oleh
filsuf Yunani Aristoteles ( 384-322 sM ) sudah dipakai untuk menunjukan
filsafat moral
Pada Webster’s New word Dictionary, 3rd College edition, etos didefinisikan sebagai
kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari
individu atau kelompok.
Makna berikutnya yaitu The
governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip
utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi,
atau sejenisnya.
Dalam bahasa Ingris ethos diartikan sebagai watak atau semangat
fundamental suatu budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan,
kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat . Jadi etos kerja berkaitan
dengan budaya kerja. Sebagai dimensi budaya, keberadaan ethos kerja dapat
diukur dengan tinggi rendah, kuat ( keras ) atau lemah. Ethos kerja merupakan
bagian penting yang menentukan suatu keberhasilan seseorang. Suatu keberhasilan
bukan hanya ditentukan karena adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan akal
pikiran tapi juga kemampuan untuk mengarahkannya pada kebaikan, baik secara
individu ataupun kelompok. Sebagai contoh atas keberhasilan ini adalah
masyarakat Jepang yang dipandang sukses di kancah ekonomi dunia dengan
menerapkan ethos kerja Bushido dan Jerman yang menganut ethos kerja Protestan.
Poespoprodjo ( 1999 : 18 ) dalam bahasa latin, kata
untuk kebiasaan adalah mos, dan dari sinilah asal kata moral, moralitas, mores
.Etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi konvensi,
seperti cara berpakaian, tata cara, tata karma, etiquette, dan semacam itu.
Dalam bahasa Inggris Etos dapat
diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point’,’to
appear’, ‘disposition’ hingga disimpulkan sebagai ‘character’. Dalam bahasa
Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai ‘sifat dasar’,’pemunculan’ atau
‘disposisi / watak’. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari
tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai
‘kompetensi moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini
hingga ‘keahlian’ dan ‘pengetahuan’ tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa
etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara,
tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai
berbicara.
Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat sifat yang dapat
terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai ;
guiding beliefs of a person, group or institution ; etos adalah keyakinan yang
menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Menurut Koentjoroningrat ( 1980 ) dalam
Ahmat Asifudin ( 2004 ) mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan watak
khas tampak dari luar dan terlihat oleh orang lain. Etos artinya ciri, sifat,
atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup
yang dililiki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa.
A,S
Hornby ( 1995 ) dalam The New Oxford Advances Learner’s Dictionary
mendefinisikan etos sebagai ; the characteristic spirit, moral values, ideas or
beliefs of a group, community or culture; karakteristik rohani, nilai nilai
moral, idea tau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sejalan
dengan Nurcholish Madjid ( 1995 ) dalam Alwiyah Jamil etos ialah karakter dan
sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang
seorang individu atau kelompok manusia. Dan dari kata etos terambil pula
perkataan “etika” yang menunjuk pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi yaitu
kualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos
juga bararti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari padanya berkembang
pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.
Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language,
etos diartikan dalam dua pemaknaan ; the disposition, character, or attitude
peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishesit from
other people’s or group ; fundamental values or spirit; mores; disposisi,
karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari
orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari; adat istiadat.
Menurut Suparman Syukur ( 2004) istilah etika sering digunakan dalam
tiga perbedaan yang saling terkait, yang berarti (1) merupakan pola umum atau
jalan” hidup” (2) seperangkat aturan “ kode moral” dan (3) penyelidikan jalan
hidup dan aturan aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang
hakekat dan dasar-dasar moral. Ia merupakan salah satu cabang filsafat, maka
pengertian etika menurut filsafat ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana
yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh pikiran.
Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah
respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap
kehidupan sesuai dengan keyakinan masing masing . Setiap keyakinan mempunyai
system nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk
bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila pengertian ethos kerja re-definisi, maka
pengertian ethos kerja adalah respon yang unik dari seseorang atau kelompok
atau masyarakat terhadap kehidupan: respon atau tindakan yang muncul dari
keyakinan yang diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada
diri seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, ethos atau
etika kerja merupakan produk dari system kepercayaan yang diterima seseorang
atau kelompok atau masyarakat.
Dengan demikian kita sampai pada tiga arti berikut ini . Pertama , kata
Etika atau Ethos dapat dipakai sebagai arti : nilai nilai dan norma norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalanya etika protestan ( The
protestant Ethik and the Spirit of Capitalism karya Max Weber) , Etika
Confucius, Etika Islam dll.
Adapun pendekatan Etika kerja dapat dilihat
dari pendapat Chong dan Tai dalam Wirawan (2007) bahwa:
“ Etos kerja sebagai
work ethic belief system pertahins to ideas that stress individualism / independence
and the positive effect af work on individuals. Work is thus considered good in
itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will
ensure success “. ( Etos kerja mengenai ide yang menekankan individualisme atau
independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap
baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang.
berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan )
Selanjutnya Sinamo (2005) menyatakan bahwa etos kerja adalah seperangkat perilaku
kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental,
disertai komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral. Setiap organisasi yang selalu ingin maju, akan
melibatkan anggota untuk meningkatkan mutu kinerjanya, diantaranya setiap
organisasi harus memiliki etos kerja .
Etos menurut Geertz (dalam Abdullah, 1986) diartikan ”Sebagai sikap yang mendasar
terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Sedangkan kerja menurut
Abdullah (1986), secara lebih khusus dapat diartikan ”Sebagai usaha komersial
yang menjadi suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri,
maupun sesuatu yang terkait pada identitas diri yang bersifat sakral”.
Arti pentingnya etika kerja karena etika kerja bermuara pada semangat
kerja yang memiliki ciri- ciri yang khas
dan yang memberi motivasi seseorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan tingkat
penghayatan yang tinggi, disiplin dan
sepenuh hati dalam menyelesaikannya. Sikap ini haruslah terbina dan tertanam
didalam diri individu sejak kecil dan termulai pembentukannya didalam keluarga.
Keluarga mempunyai peranan penting didalam membentuk karakter baik, berdisiplin
tinggi, semangat belajar, hemat, hormat kepada yang lebih tua,berorientasi
kepada prestasi (meritokrasi).
Agar pendidikan etika dan moral mempunyai arti
khusus, harus ada kesepakatan mengenai nilai nilai yang dianggap benar hal ini
dijelaskan menurut Branker ( 1987 ) dalam Hansen dan Moven ( 1999 ), penilis “
Ethics Column” dalam Manajemen Accounting. Sepuluh dari nilai ini
diidentifikasikan dan dijelaskan oleh Michael Josephson dalam Teaching ethical
Decision Making and Prinsiple Rasioning. Kesepuluh nilai tersebut adalah : (1)
kejujuran(honesty), (2) Integritas ( integrity), (3) memegang janji ( promise
keeping), (4) kesetiaan (fidelity), (5) keadilan (fairness), (6) keperdulian
terhadap sesamanya ( carring for others), (7) penghargaan terhadap orang lain (
respect for other), (8) kewarganegaraan yang bertanggungjawab (responsible
citizenship), (9) pencapaian kesempurnaan ( pursuit of excellence ), (10)
akuntabilitas ( accountability ).
Etika
kerja memiliki manfaat besar bagi kesukses individu dan negara , dapat
kita lihat bagaimana negara Jepang dan Korea Selatan dengan etos kerjanya
,dapat bangkit kembali dari reruntuhan akibat perang dunia kedua, kedua negara
tersebut sangat dipengaruhi oleh etika Confucius dan diimplementasikan ke dalam
aspek kehidupan bangsa dan negara . Ketika nilai - nilai ini diwujudkan dalam
praktek kehidupan individu dan masyarakat dalam kontek sosial, arti penting
dari etos kerja terletak pada peranannya dalam menentukan keberhasilan
seseorang. Keberhasilan yang bersumber dari perilaku atau sikap yang merupakan
cerminan dari kecerdasan, keyakinan, semangat dan keberanian, loyalitas,
penghormatan yang khas dari pribadi seseorang.
Makna berikutnya yaitu The governing or central principles in a
movement, work of art, mode of
expression, or the like, prinsip utama atau pengendali dalam suatu
pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi atau sejenisnya. Dari sini dapat
kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan
keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengruhi kehidupan,
menjadi prinsip-prinsip pergerakan dan cara berekspresi yang khas pada
sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Menurut Anoraga (1992) Etos kerja
merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila
individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur
bagi eksistensi manusia, maka Etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebakiknya
sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi
kehidupan, maka Etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Dalam situs resmi kementrian KUKM,
Etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan
kesungguhan serta tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada webster’s Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai : Earnestness or fervor in working, morale
with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja,
suatu pandangan moral pada pekerjaan yang di lakoni. Dari rumusan ini kita
dapat melihat bagaimana Etos kerja di pandang dari sisi praktisnya yaitu sikap
yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan
produktivitas.
Dalam
rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat perilaku positif
yang berakar pada keyakinan fundamental yang di sertai komitmen total pada
paradigma kerja yang integral. Menurutnya jika seseorang, suatu organisasi,
suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada
paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap sikap dan perilaku
kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan budaya. Sinamo
(2005) memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan
otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi
sosiologi sejak jaman Max Webber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan
manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu
kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan di tentukan
oleh perilaku manusia, teruatama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut
perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.
Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah Etos karena menemukan
bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari
sebuah organisasi atau komunitas tetapi mencakup motivasi yang menggerakkan
mereka, karakteristik utama, spirit
dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap,
aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan standar-standar.
Dari pengertian etos kerja di atas, maka jika seseorang, suatu organisasi
atau suatu komunitas menganut paradigma kerja tertentu, percaya padanya secara
tulus dan serius, serta berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, maka
kepercayaan itu akan melahirkan sikap kerja dan perilaku kerja mereka secara
khas. Itulah etos kerja mereka, dan itu
pula budaya kerja mereka. Etos Kerja yang merupakan seperangkat sikap atau
pandangan mendasar yang dipegang kelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai
suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga
mempengaruhi perilaku kerjanya.
Dari uraian dan defiisi Ethos diatas apabila dikaitkan dengan Etika Confucius tentunya akan menjadi etika
yang berpengaruh terhadap tingkah laku khususnya orang Tionghoa dan penganut
Confucius dalam mendorong peritingkahlaku nyata yang berkaitan dengan kinerja.
Hal ini diperkuat pula dengan Farid Elashmawi dan Philip R Harris bahwa segala
perilaku manusia dalam menjalankan bisnis atau kehidupan social lainnya
dipengaruhi oleh system kepercayaan mengenai kehidupan, kematian , agama dan
nilai nilai lainnya. Kepercayan kepercayaan tersebut diambil oleh manusia
sebagai norma yang diterima, dan hal ini
berkaitan dengan kinerja seseorang maupun kelompok ( organisasi ) ( Suryadi
Prawirosentono : 113 ).
ASPEK
ETHOS KERJA
Menurut Sinamo ( 2005 ) dalam Ferry Novliadi (2009 : 6 ) setiap manusia
memiliki spirit/ roh keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan
menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas
seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung
jawab dan sebagainya melalui keyakinan,komitmen, dan penghayatan atas paradikma
kerja tertentu. Dengan ini maka orang berproses menjadi manusia kerja yang
positif, kreatif dan produktif . Dari ratusan teori sukses yang beredar di
masyarakat sekarang ini, Sinamo ( 2005 ) menyederhanakannya menjadi empat pilar
teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menompang
semua jenis dan system keberhasilan yang berkelanjutan ( sustainable success
system ) pada semua tingkat. Keempat elemen itu lalu dia kontroksikan dalam
sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (
bahasa
Sansekerta ) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu (1) mencetak
prestasi dengan motivasi superior, (2) membangun masa depan dengan kepemimpinan
visioner, (3) menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif, ( 4) meningkatkan
mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan
pada delapan aspek etos Kerja seperti yang dibahas oleh Jansen Sinamo (2009)
dalam bukunya Your Navigator to Success,
Etos Kerja Dalam Bisnis , diantaranya adalah :
1. Kerja adalah
rahmat, karena kerja merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka
individu harus dapat bekerja dengan tulus dan peuh syukur.
2. Kaerja adalah
amanah, kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga
secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab.
3. Kerja adalah
panggilan, kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita
sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas.
4. Kerja adalah
aktualisasi, pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakekat manusia
yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat.
5. Kerja adalah
ibadah ; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik,
sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang
Pencipta dalam pengabdiannya.
6.
Kerja adalah seni: kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan
kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi
baru, dan gagasan inovatif.
7. Kerja adalah
kehormatan:; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri sehingga harus dilakukan
dengan tekun dan penuh keunggulan.
8. Kerja adalah
pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja
tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh
kerendahan hati.
Aroraga ( 1992) juga memaparkan secara eksplisit sikap yang seharusnya
mendasar bagi seseorang dalam member I nilai pada kerja, yang disimpulkan
sebagai berikut :
1. Bekerja
adalah hakekat kehidupan manusia
2. Pekerjaan
adalah suatu berkat Tuhan
3. Pekerjaan
merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral
4. Pekerjaan
merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti
5. Pekerjaan
merupakan suatu pelayanan dan perwujudan kasih
Dalam penulisannya , Akhmad
Kusnan ( 2004 ) menyimpulkan pemahaman bahwa Etos Kerja menggambarkan suatu
sikap, maka ia menggunakan lima indicator untuk mengukur Etos Kerja. Menurutnya
Etos Kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternative, positif dan
negative. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos
Kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda tanda sebagai berikut :
1. Mempunyai
penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia
2. Menempatkan
pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi
manusia
3. Kerja yang
dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia
4. Kerja
dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana
yang penting dalam mewujudkan cita cita
5. Kerja
dilakukan sebagai bentuk ibadah
Bagi individu atau kelompok
masyarakat yang memiliki Etos Kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan cirri
cirri yang sebaliknya ( kusnan,2004), yaitu ;
1. Kerja
dirasakan sebagai sesuatu hal yang membebani diri
Kurang dan bahkan tidak menghargai
hasil kerja manusia
2. Kerja
dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan
3. Kerja
dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan
4. Kerja
dihayati hanya sebagai rutinitas hidup
Dari berbagai aspek yang di
tampilkan ketiga tokoh di atas, dapat di lihat bahwa aspek-aspek yang di
usulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam beberapa aspek Etos Kerja
yang di kemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan ini mendasari pemahamannya
pada delapan aspek etos kerja yang di kemukakan oleh Sinamo sebagai indikator
terhadap etos kerja.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos
kerja dipengaruhi oleh beberapa factor, Yaitu :
a. Agama
Dasar pengkajian kembali makna Etos kerja di Eropa di
awali oleh buah pikiran max Webber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan
modern, yaitu rasionalitas (rationality)
menurut Weber (1958) Lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan
suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan
pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang
pastilah di warnai oleh ajaran agama yang di anutnya jika ia sungguh-sungguh
dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung
nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut
menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan
bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir
rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material),
tidak mengumbar kesenangan namun hemat dan bersahaja (asketik), serta menabung
dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme
di dunia modern.
Sejak weber menelurkan karya tulis The Protestant Etchic
and the spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang Etos kerja berbasis
agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan
adanya korelasi positif antara sebuah system kepercayaan tertentu dan kemajuan
ekonomi, kemakmuran, dan modernitas(Sinamo,2005). Menurut Rosmiani (1996) Etos
kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja. Sikap
ini di bentuk oleh system orientasi nilai-nilai budaya, sebagian besar
bersumber dari agama atau system kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia
menemukan Etos Kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi rendahnya
kualitas ke agamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah
kokohnya tingkat Etos kerja yang rendah itu.
b.
Budaya
Selain temuan Rosmiani(1996) di atas, Usman Pelly(dalam Rahimah1995)
mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyaraka
juga di sebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga
disebut sebagai Etos kerja. Kualitas Etos Kerja ditentukan oleh sistem
orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki
system nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi dan sebaliknya,
masyarakat yang memiliki system kerja nilai budaya yang konservatif akan
memiliki Etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki Etos
Kerja. Pernyataan ini juga didukung oleh studi yang di lakukan Suryawati,
Dharmika, Namiartha, Putrid an Weda (1997) yang menyimpulkan bahwa semangat
kerja/Etos Kerja sangat ditentukan oleh nilai-nilai Budaya dan agama ini
menurut mereka di peroleh secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang di
sebarkan secara turun-temurun.
c.
Sosial
Politik
Soewarso, Rahardjo, Subagyo dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi
rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat di pengaruhi oleh ada tidaknya struktur
politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil
kerja keras mereka dengan penuh. KH.Addurrahman Wahid (2002) mengatakan bahwa
Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggungjawab
kepada masa depan bangsa dan Negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan ,
kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara
keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih
baik. Confucius dalam hal ini membentuk manusia Junzi yang selalu mengoreksi
diri secara terus menerus dan melihat kedepan dengan harapan dan semangat
berkarya yang tinggi tanpa ada henti hentinya. Konsep ini seperti yang kita
lihat dari upaya untuk memperhbaharui diri sepanjang hari.
“ Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah setiap hari dan
jagalah agar baharu selama lamanya “ .
Disaping ketiga poin diatas
bahwa ethos kerja juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan geografis, tingkat
pendidikan, struktur ekonomi, motivasi intrinsic individu .
ETIKA CONFUCIUS
Etika Confucius adalah nilai nilai, aturan,
moral yang bersumber pada ajaran
Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau
kempok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa. Umumnya Etika
Confucius diajarkan secara lisan secara
turun temurun dari orang tuanya dan ini berjalan berabad abad tahun
lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional. Karakteristik
masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata
laksana agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari
kitab kitab Confucius yang dibawa oleh
para pendatang ( saudagar ) ke Indonesia
dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di Indonesia . Mereka mereka itu
akhirnya membentuk wadah Matakin dan mengangkat
pemuka agama ( Js , Ws dan Xs ) dan mengajarkannya lewat upaca
upacara maupun kebaktian di Li Thang ( Tempat
Ibadah umat Confucius ) . Etos Confucius bersumber pada Kitab Suci Agama
Konghucu ( Confucius ) yang terdiri dari dua kelompok : Wu Jing ( Kitab Suci
Yang Lima ) dan Si Shu ( Kitab Suci Yang Keempat ) serta Xiao Jing ( Kitab
Bakti ). Kitab Wu Jing terdiri dari :
1.
Shi Jing (
Kitab Sanjak )
2.
Shu Jing (
Kitab Dokumen Sejarah Suci )
3.
Yi Jing (
Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa )
4.
Chun qiu Jing
( Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu )
5.
Yue Jing (
Kitab Musik )
Kitab Si Shu terdiri dari :
1.
Da Xue (
Kitab Ajaran Besar )
2.
Zhong Yong (
Kitab Tengah Sempurna )
3.
Lun Yu (
Kitab Sabda Suci )
4.
Meng Zi (
Mencius ) ( Lin Khung Sen : 18,31 )
Kitab kitab diatas sebagai sumber ajaran Confucius dan digunakan sebagai
dasar dalam berperitingkahlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Maka yang dimaksud dengan Etika Confucius
itu menyangkut keseluruhan ajaran
Confucius yang dihimpun dari Nabi Fuxi dan Hok Hi ( 2.953-2.838 sm),
lalu Yu Agung atau I Agung ( 2.205 –
1.766 sm ), Ji Chang atau Ki Chiang dan akhirnya Confucius ( Khonghucu ) sampai dengan
Bingcu.
Wastu P Chong ( 1996 : 9 ) dalam buku “ Etika dan Keimanan Khonghucu”
mengatakan bahwa pada hakekatnya etika
Confucius yang kita kenal sekarang tidak
hanya ditemukan oleh satu orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih
2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
Etos Confucius atau Etik Confucius (Confucian Ethick) menurut Lin Yu Tang
(1936) dalam bukunya “ My Country and My People “ mengatakan bahwa “ Upaya manusia untuk
memperoleh Kebajikan di dalam ( inner Sageliness ) dan berpenampilan sebagai
Raja ( outer kingliness ). Artinya bahwa nilai - nilai Confucius dipelajari ke
dalam ( Inner Sageliness ) sebagai moral kebajikan sedangkan keluar merupakan
wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari - hari. Pernyataan tersebut dipertegas
oleh Xs. Indarto bahwa Etika
Confucius disebut juga dengan “ Nei-sheng Wai-wang “ yang mencakup
pendidikan moral atau budi pekerti untuk membina diri ke dalam seperti Nabi dan
keluar memimpin dunia ( menjadi manajer yang tangguh ) ( Indarto : 32 ) .
Etika Confucius mengandung nilai nilai seperti
toleransi pada sesama manusia baik antar kawan , atasan bawahan, antar sesama
saudara dan lain lain; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih
tua ; kesetiaan serta dapat dipercaya kepada Negara bangsa, hormat kepada yang
berusia lanjut dan guru dan kasih sayang kepada anak dan saudara lebih muda.
Pada principnya etika Confucius mengajarkan akan
pentingnya pembinaan diri ( self cultivation) serta nilai nilai moral, baik
kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negaga bahkan dunia.
Menurut Prof.Dr.Po Keung Ip ( 2009 ) Etos Confucius
terdiri dari Ren, Yi, Li disamping Zhi dan Xin yang merupakan komponen penting
dalam system moral yang membentuk
manusia Junzi. Junzi melambangkan
berbudi luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa henti secara
konsisten selama dalam hidupnya. Terutama kaum intelektual dan elit penguasa
bahkan semua orang didesak untuk menjadi Junzi dalam pikiran dan perbuatan dan
terus mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri khas Junzi dalam analects
Confucius ( Lun Gi ) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan dan
tugas,bertindak sebelum bicara, kehati hatian dalam ucapan, tindakan
menyelaraskan kata kata, menunjukan bakti kepada orang tua, menampilkan menghormati
persaudaraan untuk saudara saudara, bergaul dengan orang yang memegang prinsip
moral, suka belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan,
berbuat baik kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong,
berani ,tabah, memiliki motivasi , berpikiran adil dan Zhu Zhong ( Tiong Si ).
Zhu Zhong inilah yang sering disebut sebagai Golden Rule dimana “ Jangan
lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda
“
Prof.Dr.Lee T Oei memberikan ciri ciri seorang Junzi
diantaranya orang yang bertujuan, berusaha sungguh sungguh, menyeluruh, tulus
hati, jujur, murni dalam pikiran dan tindakan , cinta akan kebenaran, adil dan
tidak miskin, berkebajikkan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa,
teguh, rukun, tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat
terbuka, baik hati, berpandangan luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepa
saliro, dan betenaga dalam ( Ongky 1996 ).
Menurut Charles A Rarick, PhD
bahwa ada karakteristik yang dipraktekan oleh orang orang China serta
China perantauan yang berkaitan dengan
Lima hubungan Konfucianisme, Lima Kebajikan dan Etika kerja Confucius yang
mementingkan kerja keras, loyalitas dan dedikasi kerja, berhemat serta cita
belajar ( p2 ) .
Dari
pendapat diatas tentunya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lima hubungan
Confucius sebagai landasan manajerial yang ditunjang oleh nilai nilai Ren, Yi,
Yong, Zhi dan Xin untuk menghasilkan ethos kerja yang loyalitas, dedikasi,
pekerja keras , berhemat , cita belajar yang tentunya juga tercapainya
keberhasilan ( kinerja ).
LIMA
HUBUNGAN
Aspek perting dari lima hubungan Confucius yakni hubungan seseorang dengan atasan, orang
tua , suami istri, orang tua dan teman teman. Kelima hubungan ini merupakan
praktek manajerial China.
1.
Loyalitas bawahan dengan pimpinan
Konfucius
mengusulkan hirarki social yang kuat berdasarkan posisi, dimana hirarki akan
dipertahankan melalui pemimpin yang baik dan bertindak untuk kepentingan
baiknya. Dalam organisasi khas China, keputusan dibuat oleh para pemimpin di
bagian atas organisasi dan setiap orang diharapkan untuk melaksanakan arahan
tanpa adanya pembantahan. Karyawan diharapkan untuk setia dan loyal sementara
organisasi wajib member imbalan dan kesejahteraan karyawan .
2.
Hubungan antara Ayah dengan Anak
Konfucius merasa ada hubungan khusus antara ayah
dengan anak. Ayah harus membimbing anak, dan anak harus menunjukkan cara hormat
dan hasil sarannya ayahnya. Sama seperti seorang ayah ingin menasehati,
mengajar, dan memberikan arahan seorang putra, majajer China diharapkan
melakukan hal yang sama dengan karyawan. Dalam masyarakat Konfucian, manajer
China berinteraksi dengan karyawan banyak yang sama seperti seorang ayah dalam
mencari keluar untuk kepentingan terbaik dari anak anaknya. Dalam organisasi
China modern hubungan diperpanjang sekarang untuk sebagian besar untuk mencakup
kedua jenis kelamin. Konfucius merasa bahwa sebuah organisasi yang peduli dan
memelihara dipromosikan kepercayaan dan keharmonisan diantara para anggota.
3.
Tugas antara suami dan istri
Perempuan
harus dibimbing oleh suami mereka dan member mereka kesetiaan dan pengapdian.
Perempuan tidak diizinkan untuk mengambil posisi penting dalam birikrasi China,
peran perempuan dalam dalam Tiongkok kuno adalah satu domestic dan tuntuk, dan
bahkan saat ini ada kesenjangan antara kedua jenis kelamin. Pada sisi yang
positif, prinsip Confucius juga dapat diambil untuk menjelaskan peran sebagai
tokoh dalam organisasi. Ketika organisasi dipandang sebagai perpanjangan
keluarga, kita menemukan bahwa peran utama dari pemimpin adalah untuk bertindak
sebagai tokoh orang tua dalam menjaga harmoni dalam organisasi. Semua anggota
organisasi memiliki tugas sebagai peran khusus untuk bermain di organisasi
tersebut. Kontrol social dipertahankan melalui orientasi klan yang kuat dan
hubungan yang dibentuk berdasarkan peran yang telah ditentukan dan perilaku
yang sesuai yang mengalir dari peran itu.
4.
Ketaatan kepada Sesepuh
Konfucius mengatakan bahwa kaum muda harus
menghormati senior mereka. Hormat usia masih merupakan aspek penting dari
budaya China, dan usia juga penting dalam menentukan mobilitas ke atas dalam
organisasi. Hal ini biasa bagi manajer muda untuk memajukan lebih dari manajer yang lebih senior, bahkan jika manajer muda
yang lebih berkualitas dan dengan standart Barat, lebih tepat untuk promosi.
Manajer muda diharapkan untuk mendengarkan, taat, dan menghormati senior
mereka, dan menunggu giliran mereka untuk kemajuan. Manajer senior dipandang
sebagai boneka penting, mewakili usia, kebijaksanaan, dan kepedulian untuk
semua anggota organisasi. Organisasi menangani anggota muda dan anggota muda
diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada senior mereka.
5.
Saling kepercayaan antara Teman
Confucius
menekankan pentingnya kerjasama antara orang orang, dimana anggota organisasi
harus bekerjasama untuk menjaga keharmonisan kelompok. Dalam budaya Barat
adalah tepat untuk memusatkan perhatian pada individu, kita memberikan
tanggungjawab individu dan member pujian pada individu yang luar biasa. Praktek
semacam itu tidak dapat diterima dalam budaya China, ini akan terlihat sebagai
tidak patut untuk keluar tunggal salah satu anggota kelompok untuk memuji atas
orang lain. Perilaku seperti itu mennganggu keharmonisan kelompok. Demikian
juga , tanggung jawab kolektif juga disukai oleh tanggungjawab individu . Fokus
pada individualism merusak kepercayaan bahwa anggota kelompok dapat
mengembangkan satu sama lain. Konfucius merasa bahwa ketika individu diperlakukan
sebagai kelompok, dan didorong untuk mempertahankan keharmonisan dalam
kelompok, hasil yang lebih besar dapat dicapai.
Gambar
Lima Hubungan Confucius,Lima Kebajikan dan Etos Kerja
Atasan
Bawahan
|
Kerja
Keras
|
Ren
(Cinta
Kasih)
|
Li
(Keteraturan)
|
Yi
(Kebenaran)
|
Sahabat
Teman
|
Ayah
Anak
|
Suami
Istri
|
Junior
Senior
|
KEBERHASILAN
|
Tekun
|
Disiplin
& Ulet
|
Loyal
& Setia
|
Hemat
|
Zhi
(Kebijaksanaan)
|
Xin &
Yong
(Kepercayaan
& Keberanian)
|
LIMA KEBAJIKAN
Selain menjaga keharmonisan melalui hubungan, Konfusianisme
mempromosikan lima kebajikan : Ren (Cinta Kasih ) , Yi atau kebenaran, Li
kepatutan, Zhi atau kebijaksanaan, dan Xin= kepercayaan. Manajer Confucius di harapkan untuk peduli, bermoral, menjaga
martabat mereka, memiliki kearifan, dan benar untuk kata-kata mereka The “gentleman” konfusius di harapkan untuk
hidup sampai dengan standar yang lebih tinggi.
Dalam
budaya Konfisius, manajer diharapkan untuk menampilkan “Ren”, yang berarti
kebajikan atau humanisme, Ren kadang di terjemahkan sebagai ”goodwill” atau
kebaikan terhadap orang lain. Manajer konfusianisme diharapkan menjadi manajer
yang baik hati dan mengelola dengan kebaikan. Manajer di harapkan untuk focus
pada membangun hubungan dan menjadi lebih ramah. Manajer Cina secara
tradisional dihargai dedikasi, kepercayaan, dan kesetiaan lebih dari kinerja.
Setiap karyawan melakukan yang terbaiknya / kemampuan dan bekerja untuk
kebaikan kelompok. Perbedaan dalam kinerja individu tidak dianggap penting
asalkan fungsi kelompok secara efektif. Peran manajer adalah untuk menjaga
keharmonisan dan goodwill di seluruh organisasi.
Aspek
penting pemikiran Konfisius adalah Yi
(kebenaran ), berarti bahwa manajer di harapkan untuk menegakkan standar
tertinggi perilaku moral. Kepentingan individu harus di korbankan demi kebaikan
organisasi. Dalam banyak kasus kita dapat melihat manajer Cina yang menjunjung
tinggi Yi, tetapi dalam beberapa kasus standar terganggu lebih berarti
menyelamatkan muka perilaku. Cukup menarik, telah di usulkan bahwa orientasi
etika Confucius telah di adopsi lebih erat oleh manajer barat. Misalnya, Romar
(2004) telah menyarankan bahwa etika Konfusian yang konsisten dengan membentuk dasar dari banyak ide-ide
manajerial yang di kembangkan oleh pemikir barat yakni manajemen Peter Drucker.
Perilaku
yang sesuai, atau Li, di dedikasikan melalui pemikiran Konfucius dalam kerangka relationship.
Seorang dengan atasan, orang tua, suami/istri, orang tua dan teman-teman (Lima
hubungan). Konfusius sangat prihatin dengan hubungan dan kepatutan social.
Istilah Konfusianisme “Li” sebenarnya mengacu pada Ritual. Ritual sebagai
diwujudkan tidak hanya dalam hal perilaku yang sesuai dan peran, tetapi juga
untuk upacara dan proses social lainnya. Budaya China dan praktek bisnis yang
kadang-kadang di anggap sebagai panjang pada formalitas, dan perencanaan yang
berlebihan dan di kelola oleh standar
barat. Seorang Cina mengatakan”air menetes dan waktu tertentu. Akan mengebor
sebuah lubang di granit”(Chien 2006) mengungkapkan pentingnya kesabaran dan
orientasi jangka panjang. Peran yang tepat dan ritual di Cina bisa tampak tidak
fleksibel dan memakan waktu untuk pengamat barat.
Untuk
Cina, perolehan kebijaksanaan selalu di junjung tinggi. Kebijaksanaan dan usia
yang terkait erat dalam budaya Cina, dan tidak mengherankan untuk menemukan
penghormatan besar yang dibayarkan kepada anggota yang lebih tua dari
masyarakat. Hal ini tercermin dalam pilihan personil, dan kemungkinan bahwa
karyawan yang lebih tua akan orang-orang yang posisinya lebih dari senior dari
organisasi, terlepas dari kemampuan seperti Cina yng terus berbaris kearah
kapitalisme pasar. Tampaknya menjadi kesenjangan genersi berkembang antara
tingkat junior dan senior manajer di Cina ( Tang&Ward 2003) dan perusahaan
kewirausahaan Cina.
Akhirnya
menajer Khonghucu diharapkan bisa
memiliki Xin atau kepercayaan . selain menjadi orang yang dapat di percaya.
Manajer akan setia pada misi organisasi. Para manajer Cina bertanggung jawab
untuk menjaga control dan menjamin bahwa semua bawahan mengikuti kebijakan yang
konsisten dengan misi organisasi. Di Cina kita akan menemukan orientasi yang
kuat untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan. Kepercayaan dimulai dengan
pemimpin dengan mempertahankan
organisasi yang harmonis, bahkan sampai-sampai karyawan diindroktinasi di
“garis perusahaan”. Sekali lagi sifat-sifat pribadi seperti kepercayaan dapat
dilihat sebagai lebih penting dari pada kemampuan kinerja.
PENDEKATAN
ETIKA CONFUCIUS TERHADAP BISNIS DAN KAPITALISME
Argumentasi Confucius terletak pada pemeliharaan
moral oleh diri sendiri dan pengembangan nilai kebajikan manusia, yang
terintisarikan dalam diri gentleman Confucius ( Junzi, manusia ideal
Confucius ), daripada mefokuskan pada
keuntungan. Pendekatan Confucius menganjurkan bahwa seseorang semestinya focus
kepada perjuangan untuk nilai kebajikan manusia ( dalam hal ini Yi) dan Li’= keuntungan, secara berimbang.
Memang untuk meneguhkan poin diatas, kita bisa
beragumen bahwa dunia ekonomi atau kegiatan bisnis hanyalah satu aspek dari
kehidupan manusia. Sementara manusia sudah dianggap sebagai makluk ekonomi atau
memiliki nilai ekonomi dalam kerangka kapitalis, dia tidak hanya terbentuk dari
nilai ekonomi semata. Dunia atau kegiatan bisnis hanyalah satu tempat cadangan
dari keseluruhan perjuangan manusia ( yang terdiri dari keseluruhan aktivitas
hidup dan kepercayaan manusia ). Perjuangan manusia ini mungkin mencakup satu
keyakinan pada Tuhan ( supernatural ), juga pencarian intelektual atau
pengetahuan sebagai kesenangan dalam hidup serta kebahagiaan.
Tidak adanya
kecocokan antara Etika Confucius dan Kapitalisme, Nuyen ( 1999)
berpendapat bahwa filsafat Cina, termasuk Confucianisme, cocok dengan
persaingan sempurna dan kapitalisme klasik. Berkaitan dengan hal ini, beliau
mengacu pada Francois Quesnay, sang pemikir klasik. Quesnay mengatakan bahwa
ekonomi adalah satu mekanisme yang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan hukum
alam, dan karenanya kebijaksanaan
laissez-faire semestinya diambil. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuyen, hal
ini diadopsi dengan pandangan untuk mencapai “ tujuan harmoni social, dan pada
puncaknya harmoni seluruh alam semesta” ( p 75 ) yang adalah konsisten dengan
konsep chung yung ( Tiong Yong ) menurut Confucius dan dengan Jalan Tao
(pp.76-79).
Tetapi, sementara kita mencoba untuk
mengintergrasikan etika dan bisnis secara holistic, fakta yang tertinggal
adalah kita tidak bisa sepenuhnya mengelak dari kenyataan bahwa tujuan bisnis
dan tujuan hidup mungkin bertentangan setidaknya dalam beberapa keadaan.
Konflik yang berpotensi muncul antara moralitas pribadi dari seorang pegawai
perusahaan atau agen dengan perusahaan. Ini tidak berarti bahwa bisnis dan
segala aspek lainnya dalam hidup manusia adalah seharusnya secara kategori
diperlakukan sebagai komponen terpisah. Memang, kita perlu untuk seperti yang
dikemukakan Solomon, berusaha mengintegrasikan etika dengan bisnis dengan cara
yang lebih holistic. Tetapi pada kenyataannya, dimana terdapat konflik
khususnya antara pencapaian keuntungan bisnis dan tujuan fundamental dari
keseluruhan kehidupan, sangatlah logis dan masuk akal bahwa yang belakangan (
tujuan fundamental kehidupan ) sangat diharuskan. Tujuan dari memajukan nilai
kebajikan manusia seharusnya memang dari kepentingan ekonomi yang lebih sempit.
Sehingga, bisnis tidak selalu merupakan kegiatan atau praktek mencari kekayaan
materi dengan mengorbankan nilai nilai kebajikan manusia. Lebih jauh , sebagai
kegiatan bisnis ( berdasarkan pada keuntungan ) hanyalah merupkan sebagian dari keseluruhan hidup (
berdasarkan pada nilai kebajikan manusia ), seorang tidak semestinya mencari
kekayaan materi dengan mengorbankan kebajikan manusia.
Mencari pendekatan dari ajaran Confucius, tentunya kita bisa mengambil
hikmah bahwa tidak ada larangan dari Confucius untuk mengejar Li’=(keuntungan)
melainkan Confucius menganjurkan agar Li’= keuntungan dikejar dengan jalan Yi =
kebenaran. Sepaham dengan pendapat Dr.Chandra Setiawan ( 2000 : 18 ) bahwa : “
Ajaran Confucius ( Khonghucu ) tidak berpikir bahwa kebenaran berlawanan dengan
keuntungan pribadi, apa yang beliau tidak setuju ialah bila kekayaan dan
kemuliaan diperoleh secara tidak layak dan tidak benar atau dapat dikatakan
hanya untuk kepentingan diri sendiri (selfishness) atau mental mencari untung
melulu.”
Dengan demikian kita dapat senyimpulkan bahwa ajaran Confucius tidak
bertentangan dengan upaya manusia menuju pada kapitalisme yang dilandasi dengan
nilai nilai moral. Kapitalisme yang menumbuhkan keseimbangan dan keharmonisan
kehidupan manusia secara adil. Dalam hal
ini Confucius mengajarkan akan pemerataan
kemakmuran dengan melarang adanya penimbunan kekayaan yang bisa
menceraibelaikan masyarakat ( ).
PENDEKATAN PERSONALITY
DAN ETIKA BISNIS Yi MENUJU Li’
Pendekatan Etika Confucius
terhadap peritingkahlaku individu juga prilaku bisnis melalui pendekatan
personality yang menyatakan bahwa tingkat religiusitas akan menjadi
bagian identitas diri seseorang ( personality
). Personalitiy itu sendiri pada
gilirannya akan menjadi factor penting menentukan perilaku di dalam organisasi
maupun sikap kerja karyawan ( Indira Januari ). Confucius beranggapan
bahwa kepribadian ( personality ) harus
dilandasi oleh kebajikan khususnya Ren ( Cinta Kasih ) agar dapat membetuk
kelompok masyarakat yang bajik pula. Suatu personality yang berkebajikan akan
memepegaruhi pritingkahlakunya dalam kehidupan dalam berkelompok . Confucius
mengatakan :
“ Maka
pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang itu tergantung pada diri
pribadinya ; untuk membina diri itu harus hidup dalam Tao ( Jalan Kebenaran )
dan membina Tao itu harus hidup dalam Ren=Cinta Kasih”( Tiong Yong BAB XIX : 4,
hal 60 ).
Personality juga mempengaruhi sikap kepemimpinan. Pempimpin yang bijak
tentunya menerapkan tiga konsep Confucius ( Tripusaka ) yaitu
Ren =Cinta Kasih , Yong = berani
dan Zhi = bijaksana ( Tiong Yong Bab XIX,8 hal 61 ).
Dengan demikian Etika Confucius sebagai etika moral yang merupakan nilai
nilai kinerja dijadikan sebagai landasan bisnis dalam mempengaruhi kinerja.
Nilai nilai itu kita sebut sebagai Kinerja Confucius yang bersumber pada ajaran
agama Khonghucu. Kinerja Confucius tidak
bedanya dengan Kinerja Islam dimana seseorang bekerja memiliki tujuan sebagai
ibadah. Namun demikian
Kinerja Confucius memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan
Kinerja Islam. Kalau Kinerja Islam tujuan bekerja untuk ibadah dan tujuan
akherat , bagi Confucius motif bekerja adalah untuk menyempurnakan kehidupan di
dunia ( sebagai sarana pembelajaran manusia dalam kehidupan di dunia ). Perbedaan ini terletak pada konsep Confucius
yang memandang bahwa orang bekerja didunia ini sebagai pelaksanaan bakti ( Hau ) kepada orang tua dan keluarga.
Bekerja memiliki tujuan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga pada
saat kita hidup di dunia. Bagi Confucius manusia harus mengisi kehidupan di
dunia ini secara benar, hal akherat tidak usah dibicarakan karena itu merupakan
hukum Tuhan ( Thian Li ). Apabila manusia bisa menciptakan keharmonisan didunia
dengan benar, maka hal kematian ( akherat ) sudah tidak ada lagi yang perlu
dikawatirkan . Dalam hal ini Confucius mengatakan sebelum mengenal hidup untuk
apa mengenal mati artinya bahwa menyempurnakan kehidupan didunia ini wajib
dijalankan untuk mencapai kesempurnaan di luar Dunia . Konsep tersebut yang mendasari bahwa orang
orang Tionghoa itu bekerja untuk tujuan kemakmuran keluarga ) . Mereka merasa
malu dan takut apabila tidak bisa memberi kehidupan dan kemakmuran kepada
keluarga. Dan bagi mereka yang gagal dalam memenuhi kewajiban kemakmuran kepada
keluarga merasakan sebagai rasa malu yang sungguh sungguh mengusik harga
dirinya. Untuk itulah orang Tionghoa selalu bekerja keras membanting tulang agar
rasa malu ini terhindar. Bagi orang Tionghoa kemakmuran dan kesejahteraan ini
harus dikejar sebagai sarana belajar membangun kehidupan dikelak hari untuk
nama besar keluarganya apabila telah meninggal dunia. Hanya menjaga nama baik
keluarga merupakan bagian dati Bakti sebagai kewajiban dari Agama.
Etika Confucius menjadikan personality yang memahami Li ‘( beda dengan Li ) yang
mempertimbangkan Yi yakni hubungan antara Yi ( Kebenaran ) dan Li’ ( Bisnis/ Keuntungan ) atau antara bisnis
dan etika . Hubungan tersebut oleh
ditegaskan oleh Lu Xiaohe sebagai
berikut :
“ Seorang
dengan karakteristik mulia ( Junzi )
dapat memahami Yi, tapi seorang yang dangkal pemikirannya hanya mengenal
Li’ . Meskipun penganut pandangan Confucius tidak sepenuhnya menentang Li’ dan
bermaksud menempatkan Yi kedalam Li’ atau untuk mencapai Li’ dengan cara yang beroral, mereka lebih memperhatikan Yi
ketimbang Li’.
Dimensi Etika sangat penting dalam penerapan bisnis. Bisnis bukanlah
suatu aktivitas yang netral secara moral. W. Michael Hoffman dan Robert E.
Frenderick ( Hoffman et. Al.,1995 ) menuliskan bahwa, “ Memang benar bahwa
tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses mendapatkan laba bukanlah satu
aktivitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah mendorong
bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak
melanggar hak apapun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara
keseluruhan. Namun dalam dua decade terakhir, muncul keberatan terhadap
kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan kontribusi positif
terhadap kesejahteraan umum”. Kami, masyarakat China , seharusnya tidak hanya
mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan hubungan
timbale balik keduanya. Melainkan juga mengkaji bisnis itu sendiri dari
perspektif etis, contohnya dimensi etika dari bisnis yang tidak datang dari
luar, melainkan suatu yang bersifat internal, komponen yang berkaitan dengan
bisnis itu sendiri. Kita mestinya perduli dengan cara etis untuk mendapatkan
keuntungan, atau cara Yi menjuju Li ( Kebenaran dalam menuju Keuntungan ) ( Lu
xiaohe ).
Bisnis
secara Confucius yang dari Yi menuju Li’
dapat dilihat dari proses yang dilandasi etika Confucius seperti gambar dibawah
ini .
Gambar Junzi dan Proses
Kewirausahaan
JUNZI
|
Mengatur
Pekerjaan
QIU ZHI
|
Memperbaiki
Kesalahan
GAI GUO
|
Satya dan
Dapat Dipercaya
ZHONG XIN
|
Memiliki
Semangat Keuletan
YOU HENG
|
Cermat
Berpikir
SHEN SI
|
Membenci
Kepalsuan
E WEI
|
Menjaga
Kewajaran
SHOU
CHANG
|
Kesusilaan
Dan Kebenaran
LI YI
|
Cinta
Belajar
HAO XUE
|
Menuntut
Diri Sendiri
QIU JI
|
Menuntut
Kenyataan
QIU SHI
|
Satya Dan
Tepasarira
ZHONG SHU
|
HUBUNGAN
ETIKA DENGAN PERILAKU EKONOMI
Yang mula mula membahas hubungan
antara nila nilai agama dengan perilaku
ekonomi adalah Max Weber ( Taufik Abdullah 1978 :4 ). Max Weber dalam
karyanya yang terkenal “ The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme ,
Weber ( 1958: 79-92 ) dalam ( Gorde 1995 :4 ) berusaha menjelaskan mengapa
kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, tetapi tidak
diwilayah lain. Untuk menjelaskan teorinya, Weber mengemukakan fakta dan
pertimbangan bahwa di Eropa Barat telah terjadi suatu peristiwa relegius dan
idiologis yang unik, yaitu Reformasi Protestan . Peristiwa tersebut telah
menjadi tanah subur yang menumbuhkan kesadaran baru masyarakat Barat akan nilai
universalitas dan keharusan berprestasi . Kesadaran baru ini bisa diterangkan dalam
hubungannya dengan Kalvinisme . Kalvinisme adalah suatu sekte dalam gerakan
Protestantisme, yang memandang kerja sebagai panggilan ( Beruf, calling ),
suatu tugas suci yang bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari melainkan sebagai panggilan Tuhan.
Semangat kerja keras dan hidup
sederhana di kalangan penganut Kalvinisme ini dalam perjalanan sejarah kemudian
menjadi tulang punggung system ekonomi kapitalis di bagian bagian bumi yang
telah disebutkan.
Dipihak lain , Weber mengemukakan
bahwa nilai nilai agama Timur, berbeda dengan nilai nilai Protestanisme, karena
yang disebut terdahulu justru menghambat tumbuhnya kapitalisme.
Dari paparan diatas, tampak alur
Tesis Weber tentang agama Protestan. Weber berkeinginan keras untuk
mempertanyakan , atau mungkin lebih daripada itu , mencari hubungan antara
penghayatan agama dengan pola pola perilaku. Weber setidak tidaknya telah
mengarahkan pada suatu model pemikiran atau pendekatan , yakni factor
structural dan pola pola pemikiran ( ide dan nilai ) harus dianalisis secara
bersamaan dengan cermat. Antara prilaku prilaku agamis dan prilaku prilaku
ekonomi harus dipahami dengan sebaik baiknya.
Confucius sebagai agama dan filsafat
memang mendorong pada umatnya khususnya Etnis Tionghoa untuk bekerja keras,
hemat, tekun disamping menjalankan ibadah kepada Thian ( Sang Penciptanya ).
Tentu saja Ajaran Confucius mendorong bisnis yang mengutamakan Kebajikan ( Zhi
) terlebih dahulu baru kekayaan atau keuntungan ( Thai Hak Bab X: 7 ).
Pengertian tersebut bukan berarti kekayaan itu diabaikan, melainkan kekayaan
boleh dikejar berdasarkan pada prinsip prinsip kebenaran ( Yi ).
Confucius mengajarkan manusia untuk
sukses dalam kehidupan termasuk keberhasilan kerja. Keberhasilan kerja
seseorang diantaranya ditemukan oleh adanya etos kerja yang tinggi dan berakar
dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini ajaran ajaran agama yang
berhubungan dengan penilaian ajaran agama tersebut terhadap kerja, akan
menumbuhkan etos kerja pada diri seseorang. Pada perkembangan selanjutnya etos
kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya.
Kosasih Atmowardoyo ( p 68 )
berpendapat bahwa ada semacam prinsip paduan yang tidak terlihat yang disebut “
Hidden Principles” selanjutnya dikatakan apabila hendak mencari misteri atau
mencari “ Hidden Principles “ dari perilaku orang orang Tionghoa, maka harus
melihat tradisi dan kebudayaannya. Prinsip
paduan yang diterapkan dalam perilaku ekonomi mungkin tidak terlihat
oleh orang orang yang berada diluar lingkungan bangsa atau kelompok kebudayaan
tersebut. Walaupun prinsip itu nyata bagi orang yang berada dalam kebudayaan itu sendiri, tetapi tidak
ada orang yang membicarakannya. Kecenderungan untuk menjauhkan” prinsip prinsip
yang tidak terlihat” ini tidak hanya terbatas pada diskusi formal bidang
ekonomi saja tetapi menyusup ke seluruh tubuh masyarakat . Dalam hal ini Bob Widyanto
membenarkan bahwa “ Banyak orang orang Tionghoa tingkahlakunya sesuai dengan
Confucius, walau ia sendiri tidak mau mengakui sebagai pengikut Confucius “.
Banyak orang Tionghoa yang dulunya beraga Khonghucu ( Confucius) lalu pindah
agama lain baik Kristen, Katholik maupun Islam, tetapi tingkah lakunya tetap
beretika Confucius. Kenyataan ini semakin memperjelas kepada kita bahwa nilai
nilai Confucius telah begitu melekat pada orang orang Tionghoa berabad abad
lamanya sehingga tak salah bahwa
beberapa pakar sejarah baik Hegel, Mely G Tan dengan tegas mengatakan bahwa
kalau ingin memperdalam tingkah laku orang orang Tionghoa, maka kita harus
belajar Confucius. Memang orang orang Tionghoa umumnya sudah identik dengan
Confucius karakteristiknya.
Cendekiawan Xs.Indarto pun berkali
kali mengatakan bahwa budaya Tionghoa tidak lain indentik dengan budaya
Confucius. Budaya Confucius telah melekat pada Etnis Tionghoa dan mempengaruhi
bisnis. Banyak penelitian dari beberapa perusahaan sebagai contoh pemilik
Hyundai di Korea, Chung Ju Yung sebagai seorang yang sukses karena menempatkan
nilai nilai
Confucius dalam
pengembangan bisnis otomotifnya ( Kristan, Gemaku ), dan sekarang menjadi
pabrik mobil terkenal di Korea bahkan telah eksport di beberapa Negara Eropa
termasuk Amerika dan Negara Asia salah satunya Indonesia. Contoh tersebut
menjelaskan kepada kita bahwa bukan lagi menjadi rahasia umum terutama kaum
intelektual, bahwa nilai nilai Confucius adalah nilai yang melekat secara turun
temurun melalui petuah petuah tauladan orang tua seperti nilai nilai kejujuran
, kekeluargaan, tahan bantingan, mau bekerja keras serta hidup sederhana.
Yang menjadi salah satu kunci kenapa
orang orang keturunan China ( Tionghoa) meraih kesuksesannya, terutama dalam
bidang ekonomi dan bisnis. Mereka adalah pribadi yang mempunyai talenta.
Talenta itu lalu dikembangkan dalam pola asuh keluarga secara turun temurun
untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Dalam hal ini Filosofi Confucius
adalah dasar kehidupan yang secara umum dipakai oleh keluarga China untuk
membangun keluarganya ( Ryan Sugiarto : 13 )
Confucius selain mengajarkan
pendidikan dan kebijaksanaan, ia juga telah meletakkan dasar dasar tradisi
berupa sikap mental yang kuat, yang mendasari orang orang China dalam
berdagang, sampai sekarang melegenda dalam ajaran China. Berkaitan dengan
bisnis, orang China terkenal erat dalam hal bisnis “ berbisnis sama artinya
dengan membangun persahabatan”. Begitulah filsafat bisnis yangterilhami dari
ajaran Confucianisme. Kekerabatan yang kental ini telah lahir dari ajaran
Confucius yang memang menganggap penting persaudaraan, kekeluargaan, dan cinta
kasih kepada sesame ( Ryan : 19 ).
Dalam hal ini ajaran Confucius
mengatakan : ( 1) Penghasilan harus lebih besar daripada pemasukan, (2) Bekerja
setangkas mungkin, (3) Berhemat ( tidak boros ) ( Thai Hak Bab X : 19 ).
Seorang Junzi itu sederhana dan tangkas bekerja ( Lun Gi Jilid I : 14 ).
Seorang Junzi lambat bicara tetapi tangkas bekerja ( Lun Gi Jilid IV :24 ).
Kerja keras seorang yang berwatak Junzi diatas mempengaruhi sikap kerja
Tionghoa yang banyak dihubungkan dengan bakti keluarga, penerimaan akan
disiplin, rasa takut ketidakamanan, toleransi besar terhadap rutinitas, dan
prakmatisme yang ditanamkan dengan kuat ( David : 52 ).
Harrell( 1985 ) dikutip oleh David,
menyajikan tiga penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja orang
China. Pertama, ia mengusulkan dimana orang China dibesarkan dengan nilai nilai
yang berbeda. Nilai positif tentang “ kerja keras” secara kuat ditanamkan
kedalam diri anak anak China pada usia dini. Bagi komunitas China perantauan,
kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang komplek yang mencakup pengorbanan
diri, saling ketergantungan, rasa percaya, hemat, yang dipandang sebagai dasar
bagi terkumpulnya kekayaan.
Kedua, orang China bekerja keras untuk
mendapatkan ganjaran materi. Dalam komunitas China perantauan, kemakmuran,
perasaan nyaman dan aman dalam usia lanjut menduduki posisi sentral dalam
persepsi bersama tentang kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, insentif
untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat social dan
jaminan masa depan.
Ketiga, etos kerja orang China mempunyai
orientasi kelompok individu tidak bekerja semata mata untuk keuntungan pribadi,
melainkan pertama tama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kemudian
untuk kebaikan bersama masyarakat. Membangun hubungan dan kepercayaan adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kredibitas dan posisi seseorang di
kalangan komunitas China perantauan biasanya merupakan hasil dari kepercayaan
yang telah dibina seseorang selama bertahun tahun dalam menjalin hubungan.
Ongky dalam The Key of Harmonious
Life telah terperinci beberapa pokok penting hubungan Ajaran Confucius
berkaitan dengan bisnis diantaranya :
1. Konsep
Ying Yang
Konsep Ying Yang adalah konsep dimana ada
Langit ada Bumi, ada pria pasti ada wanita, ada siang pasti ada malam. “ Bila
matahari telah mencapai rembang turunlah ia, dan bila Bulan menjadi purnama,
susutlah ia, bila dingin pergi, panas datang dan bila panas datang, dingin
pergi.
Konsep diatas menjadikan prinsip
orang orang Tionghoa selalu optimis dalam menghadapi kehidupan dimasa
mendatang. Apabila saat sekarang masih belum sukses, ia akan berusaha dengan
sekuat tenaga tanpa putus asa dengan harapan suatu saat mereka akan berhasil.
Sebaliknya ketika orang Tionghoa telah mencapai kesuksesan hidup, mereka selalu
berhati hati jangan sampai mereka salah langkah sehingga jauh dari kejayaannya.
2. Konsep
Zhong= Chung= Tiong ( Tengah Sempurna )
Konsep Tengah Sempurna adalah
konsep yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Seorang yang berbisnis
jangan terlalu takut dan juga jangan terlalu “ gambling “ . Mereka yang terlalu
“gambling” akan membahayakan bisnis walaupun kadangkala dengan “gambling”
justru bisa meraih keuntungan yang tinggi. Selanjutnya mereka yang terlalu
takut tidak akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Zhong juga berarti elastis (
tidak ekstrim), bisa mengikuti situasi dan kondisi yang ada.
3. Konsep
Keseimbangan
Keseimbangan
dan keserasian sangat penting dalam setiap aktifitas bisnis, bahkan dalam
mengatur organisasi perusahaan. Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran,
keseimbangan modal kerja dengan hutang harus dijaga, keseimbangan biaya operasi
dan volume pejualan. Konsep tersebut seperti yang dikatakan oleh Confucius :
Mengurus
hartapun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar dari pada
pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda
itu akan terpelihara “ ( Da xue X : 19 ).
4. Semangat
Maju dan Sukses
Orang Tionghoa tidak pernah
diam, melainkan selalu berusaha untuk mengubah hidupnya dengan bekerja keras,
semangat maju untuk mencapai cita citanya.
“ Bila orang
lain dapat melakukan hal itu dalam satu kali, diri sendiri harus berani
melakukan seratus kali, bila orang lain dapat melakukan dalam sepuluh kali,
diri sendiri harus berani melakukan seribu kali “ ( Zhong Yong XIX : 20 ) .
Konsep tersebut mencerminkan juga
ketekunan dan pantang menyerah seperti yang diungkapkan dalan Zhong Yong
pula bahwa :
“ Memang ada hal yang tidak dipelajari, tetapi
hal yang dipelajari bila belum dapat janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak
ditanyakan , tetapi hal yang ditanyakan
bila belum sampai benar benar mengerti janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak
dipikirkan, tetapi hal yang dipikirkan bila belum dapat dicapai janganlah
dilepaskan, ada hal yang tidak diuraikan , tetapi hal yang diuraikan bila belum
tercapai jelas janganlah dilepaskan ; dan ada hal yang tidak dilakukan, tetapi
hal yang dilakukan bila belum dapat dilaksanakan sepenuhnya jangan dilepaskan
“.
Etika tersebut sebagai pendorong
agar manusia dalam mengerjakan sesuatu dengan tekun, teliti dan tidak kenal
menyerah bahkan sunguh sungguh . Apabila etika tersebut diterapkan dalam dunia
bisnis, maka akan menjadikan seoseorang bekerja secera sempurna.
5.Membuat baru dan modern
menambah
pelanggan , melakukan penelitian dan pengembangan merupakan langkah langkah
baru dan modern.
“ Bila suatu hari dapat
memperbaharui diri, perbaharuilah dan jagalah agar baharu selama lamanya “ ( Da
Xue II : 1 ).
Masih banyak lagi nilai nilai
Confucius yang mendorong kearah sukses dalam berbisnis misalnya bisnis harus
dilandasi kepercayaan, kebenaran, keadilan, kebijaksanaan. Nilai nilai ini ada
pada manusia sejak lahir . Manusia wajib kiranya menggali nilai nilai pemberian
Tuhan itu untuk digunakan sebaik mungkin dalam kehidupan, pergaulan maupun
dalam hubungannya dengan bisnis. Mengingat bahwa kesuksesan adalah hasil upaya
yang terus menerus belajar dan memperbaharui diri agar sikapnya berubah menjadi
baru. Sedangkan menjadi insan yang berbudi mulia ( OCB ) adalah cita cita
tertinggi mereka yang menganut ajaran Confucius. Sebelum mengatur keluar, tugas utama manusia adalah
mampu mengatur dirinya sendiri. Seorang harus mampu meluruskan hati, menegakkan
tekat, melengkapi dirinya dengan pengetahuan membina orang lain. Coanfucius
percaya bahwa masyarakat yang makmur dapat dibentuk oleh mereka yang memiliki
tekad, berpengetahuan luas, dan memiliki budi pekerti baik. Nilai nilai agama
inilah yang selalu ditranfer oleh orang tua kepada anak cucunya sampai saat
sekarang ini. Confucius selalu menggaris bawahi hubungan saling tergantung
antara pemerintah dan keluarga. Hal itu disebabkan dalam masyarakat tradisional
China, keluarga dianggap sangat berperan mengurangi kekacauan dalam institusi
–institusi public. Maka, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk selalu
menekankan ketentuan social dan kesejahteraan setiap anggota keluarga. Ikatan
persaudaraan merupakan motor penggerak dalam politik idiologi kekeluargaan
China. Implikasi politik dari system ini adalah membangun ekonomi China, yang
ditekankan adalah jaringan ( xuanxi ), sebuah relasi untuk saling tolong
menolong. Prisnsip Jaringan kekeluargaan ini menjadi pilar cara pandang dalam
kerangka kerja ekonomi China. Selain itu , yang menyebabkan China mampu
menguasai perekonomian secara global adalah etos kerja yang menekankan keuletan
dan kerajinan.
Dari uraian diatas akhirnya penulis mengambil Indikator Indikator Etika Confucius (1) Perubahan ( Yin Yang ),
(2) Kepercayaan ( Xin ), (3) Cinta Kasih ( Ren), (4) Kebenaran ( Yi),
(5)Kebajikan (Zhi) ,(6) Kebenaran (Yong ) (7) Hubungan ( Xuangsi ).
1. Perubahan ( Yin Yang )
Kehidupan orang Tionghoa termasuk dalam bisnis tidak
lepas dari konsep Yin Yang yakni konsep bahwa alam semesta terdiri dari dan
ditunjang oleh dua kekuatan , Yin dan Yang , atau positif dan negative atau
juga disebut prinsip kegandaan . Konsep Yin Yang merupakan faktor yang dianut
orang Tionghoa yang mempengaruhi banyak keputusan sehari - hari yang dibuat
oleh orang Tionghoa dalam usahanya ( bisnis ). Menurut Boye De Mente bahwa “
Prinsip Yin dan Yang memberikan pada orang Tionghoa pandangan jauh ke muka dan
memungkinkan mereka untuk menerima hal yang tidak diinginkan dengan wajar “ (
Boye De Mente : P23 ).
Etos Yin Yang juga merupakan konsep orang Tionghoa
bahwa hidup harus berubah terus menerus kearah yang lebih baik dari sebelumnya.
Dalam dunia bisnis , orang Tionghoa harus terus merubah bisnisnya kearah yang
lebih maju, baik itu modal , pelayanan , jaringan maupun manajemen . Konsep ini
didasarkan pada Kitab Yak King ( Kitab Iching ) salah satu ajaran Confucius
(Konghucu) yang menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang
statis melainkan berubah. ( Babaran Agung A : 23 ).
Dalam Kitab Iching / Yi Jing , Babaran Agung B : 32 tertulis “
Matahari pergi datanglah bulan , bulan pergi datanglah matahari , matahari dan
bulan saling dorong timbulah terang : dingin pergi datanglah panas , panas
pergi datanglah dingin. Musim panas dan musim dingin silih berganti , datanglah
pergantian tahun “ ( Tang Duan Zheng : 15 ) ( Yak King : 154 ).
Ayat di atas menjelaskan tentang perubahan , manusia
hidup di dunia harus berubah kearah yang lebih baik. Dan bila dikaitkan dengan
dunia bisnis , maka bisnis harus berubah menuju kearah yang lebih baik dari
sebelumnya. Dari konsep ini menjadikan orang - orang Tionghoa tidak mau duduk
diam dalam berwirausaha , melainkan berusaha agar selalu mengembangkan
bisnisnya atau mencari peluang bisnis secara terus menerus sesuai dengan
perubahan lingkungan. Etos Ying Yang ini yang bisa mendorong seseorang untuk berwirausaha tanpa ada keraguan.
Etos Yin Yang seperti dicontohkan oleh raja Shan Thang
yang hidup kira - kira lebih dari 3000 tahun yang lalu dengan ditulis dalam bak
mandinya dari perunggu dengan kata - kata yang sederhana “ Bila suatu hari
dapat memperbaharui diri , perbaharuilah terus setiap hari dan jagalah agar
baharu selama - lamanya “ (Thai Hak BAB II : 1).
Etos Yin Yang menjadikan keyakina etnis Tionghoa bahwa
hidup ini harus berubah kearah yang lebih baik atau selalu melakukan
pembaharuan , perubahan (
transformasi ) . Melalui etos Yin Yang akan memacu seseorang untuk dapat
merubah nasibnya menjadi lebih baik , sementara bagi wirausahawan akan
menjadikan wirausaha yang selalu melakukan perubahan bisnisnya kearah yang
positif bahkan mampu mengantisipasi bisnisnya ke depan , sebab bisnis tidak
akan pernah staknan melainkan akan berkembang dan berubah sesuai dengan
kebutuhan pasar.
Jusuf Sutanto ( 2006 : 18 ) mengatakan bahwa “ Dunia
usaha sangat concern terhadap perubahan dan perbaikan terus menerus karena
kalau lengah, perubahan bisa punah “. Ilmu manajemen Jepang pengendalian mutu
terpadu ( Total Quality Control dan Kaisen ) memahami benar hal ini sehingga
menjadikan perbaikan terus menerus sebagai kegiatan sehari hari dan tak pernah
berhenti.
Melalui memutar Roda PDCA atau Plan-Do Check-Action,
diupayakan standart yang telah dicapai terus diperbaiki, bukan hanya oleh
pemimpin saja ( seperti dalam manajemen Barat ), tetapi oleh semua karyawan .
Bahkan supplier dan pelanggannya diajak ikut secara proaktif.
China sudah mempunyai tradisi agraris berumur ribuan
tahun lamanya dan mempunyai kitab Iching mengenai Hukum Perubahan Abadi, dan
ditulis sejak 3000 tahun SM , tidak hanya sebagai petunjuk dalam bertani,
bahkan mempunyai kearifan hidup sebagai jalan alam ( Tao ). Dan juga digunakan
oleh etnis Tionghoa sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dalam pedoman
berbisnis .
Perubahan dasyat yang sedang terjadi akan terus
berlangsung dan tidak bisa dicegah lagi. Kita tidak bisa lagi mengembalikan
masa lalu atau seperti akan seperti Dinosaurus yang punah ketika Zaman es
mencair yang bisa kita kerjakan adalah mempelajari hukum hukum perubahan itu,
lalu menyesuaikan diri kita untuk bisa Survive dalam perubahan ( Jusuf Susanto
: 17 ).
Menurut Prof.Dr.J .Winardi,SE (
2005 : 3 ) perubahan dapat dibedakan menjadi dua yakni perubahan yang
direncanakan ( planned change ) dan perubahan yang tidak direncanakan (
unplanned change ). Perubahan yang tidak direncanakan terjadi secara spontan
atau secara acak, dan ia terjadi tanpa perhatian agen perubahan .Perubahan
demikian dapat bersifat merusak ( disruptif ). Hal yang mungkin lebih penting bagi
sesuatu organisasi yaitu perubahan yang direncanakan.Perubahan yang
direncanakan merupakan sebuah reaksi langsug terhadap persepsi seseorang
tentang adanya suatu celah kinerja ( a performance gap ) yakni suatu
diskrepansi antara keadaan yang diinginkan dan keadaan nyata.
Kurt Levin berpendapat bahwa setiap upaya perubahan
dapat dipandang sebagai sebuah proses yang terdiri dari tiga macam fase :
Fase pertama dinamakan fase “ pencarian “(
unfreezing), fase kedua dinamakan fase “perubahan” ( changing ) dan fase ketiga
merupakan fase “ pembekuan kembali “ ( refreezing ) ( Lewin, 1951 ). Fase
pertama “ pencarian “ merupakan tahapan dimana orang mempersiapkan sebuah
situasi untuk perubahan .Tahapan “ perubahan” mencakup tindakan modifikasi
actual dalam manusia, tugas tugas,struktur dan atau teknologi . Fase “pembekuan
kembali “ merupakan tahapan final dari proses perubahan. Ia didesain untuk
memelihara momentum suatu perubahan, di mana secara positif “dibekukan” hasil
hasil yang diinginkan.
Ketiga macam fase proses perubahan dari Kurt Lewin
tersebut dapat kita sajikan pula dalam bentuk sebuah model sebagai berikut :
Gambar hal 3 Winardi
Robbins menyatakan bahwa makin banyak organisasi
dewasa ini menghadapi lingkungan dinamik , dan yang mengalami perubahan serta
menyebabkan timbulnya keharusan untuk berubah . Ada enam macam kekuatan yang
bekerja sebagai stimulant bagi perubahan yakni :
1.Sifat angkatan kerja yang berubah
2.Teknologi
3.Kejutan kejutan ekonomi
4.Tren social yang berubah
5.Politik dunia baru
6.Sifat persaingan yang berubah
Dalam menghadapi perubahan perunahan orang Tionghoa
umumnya memiliki semangat hidup yang tinggi . Kemamuan kerja kerasnya dan
kebiasaan hidupnya yang hemat menyebabkan orang Tionghoa mampu bekerja dalam
waktu yang panjang dan jarang beristirahat. Bagi orang Tionghoa untuk sukses
manusia harus berubah, untuk bisa berubah tentu menghindari kemalasan sebab
malas bagi orang Tionghoa dianggap levelnya dibawah kebodohan dimana kebodohan
merupakan indetik dengan kemiskinan. Bagi ajaran Konfucius pemalasan dianggap
keadaannya jauh lebih buruk daripada orang bodoh ( Thomas : 48 ).
2. Kepercayaan ( Xin )
Di kalangan pengusaha Cina di Hongkong dan dalam
komunitas etnis Tionghoa di luar Cina daratan termasuk Malaysia , Singapura dan
Indonesia , etika kepercayaan merupakan unsur utama untuk sukses dalam
menjalankan bisnis. Banyak studi empiris menekankan pentingnya nilai
kepercayaan ini. Dalam penelitiannya tentang sebuah pasar grosir sayuran di
Hongkong , Robert H Sillin (1972 : 337) dalam (Wong Siu - lun : 169 ) menemukan
bahwa “ xinyong atau kepercayaan merupakan faktor vital dalam
mempertahankan jaringan kompleks hubungan - hubungan dagang”.
Tanpa ada kepercayaan tidak mungkin bisnis bisa
berjalan dengan cepat dan praktis. Kepercayaan akan mempercepat proses pengiriman
barang dan memperpendek jalur birokrat. Orang Tionghoa menganggap bahwa bisnis
harus cepat dan mencapai target. Bila seorang Cina perantauan gagal membuktikan
bahwa ia layak dipercaya oleh anggota masyarakat bisnis , maka kecil
kemungkinannya ia akan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan. Anggota yang
didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan ,
baik dalam lingkup lokal maupun internasional ( David : 56 ).
Suatu bisnis yang tidak dilandasi system kepercayaan
tentu saja akan putuslah hubungan dengan para pelanggan maupun pemasuk.
Sementara bisnis yang dilandasi kepercayaan akan melanggengkan hubungan dengan
pemasuk maupun pelanggan dalam jangka waktu yang relative panjang. Doug Lennick
dan Fred Kied :2005 dalam Itpin 2006 penulis buku Moral Intelligence, beragumen
bahwa perusahaan perusahaan yang memiliki pimpinan yang menerapkan standar
etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal
sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman,2005 dalam buku Winners Never
Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha
yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Kepercayaan adalah landasan pokok dalam berhubungan
bisnis , tanpa kepercayaan sulit rasanya proses bisnis dapat berjalan dengan
baik , misalnya kecepatan transaksi , pengiriman barang maupun ketepatan
target. Untuk itu berbisnis harus menggunakan etika bisnis yang jujur dan dapat
dipercaya.
Ada beberapa keuntungan bagi
pengusaha yang menjaga etika,
1.Jika jujur dalam berbisnis maka bisnisnya akan maju.
2.Timbulnya kepercayaan.
3.Kemajuan terjaga jika perilaku etos kerja
4.Perlahan laba akan meningkat
5. Bisnis akan terjaga eksistensinya
Dalam masyarakat yang saling percaya, kebutuhan untuk
mendokumentasikan perjanjian sangatlah kecil, tetapi sebaliknya, jika mitranya
saling khawatir satu sama lain, mereka perlu sangat jelas tentang batasan
perjanjian mereka, sehingga semua harus didokumentasikan
Kepercayaan mula mula memungkinkan perusahaan
perusahaan yang tidak saling kenal untuk merasa cukup nyaman untuk memenuhi
interaksi lebih lancut, dan mengembangkan hubungan mereka hingga ke tahap
kepercayaan yang lebih tinggi, yang adalah kepercayaan kemudian ( John Kidd dan
Xue lie )
Wong selanjutnya mengatakan : “ Dalam sebuah studi
tentang penduduk etnis Cina di kota dagang kecil di Jawa oleh Edward Ryan
menekankan bahwa kepercayaan mempunyai kedudukan sentral dalam masyarakat.
Memiliki kepercayaan oleh orang Cina dianggap penting dalam usaha mengumpulkan
kekayaan . Ryan melihat bahwa pemilikan modal dipandang kurang penting
disbanding dengan pemilikan kepercayaan (169).
Menurut Hitt ( 1997 : 69 ), perusahaan yang memajukan
dan memelihara praktek etis lebih memungkinkan mencapai daya saing strategis
dan memperoleh keuntungan diatas rata rata. Alasan kunci ialah bahwa reputasi
mereka dalam praktek etis akan menarik pelanggan pelanggan loyal. Bertindak
dengan penuh kejujuran dan menghindari perilaku perilaku yang baik, mutlak
diperlukan bagi seseorang wirausaha bila ingin usahanya maju. Kejujuran adalah
harga diri , kehormatan, dan kemuliaan bagi
siapapun dan sebaliknya, tipu daya, licik, bohong justru akan menghancurkan
kredibilitas perusahaan kita ( Gymnastiar,2004 : 8 ).
Etos kepercayaan di atas tidak terlepas dari ajaran
Confucius yang sudah membudaya pada etnis Tionghoa seperti apa yang dikatakan
oleh Confucius “ ……. di dalam pergaulan dengan rakyat (masyarakat) harus
berdasarkan pada sikap dapat dipercaya “ (Tahi Hak III : 3). Bagi Confucius
orang yang tidak dapat dipercaya itu tidak berguna seumpama kereta besar yang
tidak mempunyai sepasang gandaran atau kereta kecil yang tidak mempunyai sebuah
gandaran , entah bagaimana menjalankannya ?” ( Lun Gi II : 22 ) . Kepercayaan
yang dilandasi dengan kebenaran , maka kata - katanya dapat ditepati ( Lun Gi I
: 13 ).
Etos
kepercayaan dalam pengertian ini adalah mengandung arti kejujuran. Dalam hal
ini seperti yang dikatakan oleh Confucius ketika pangeran Ai bertanya
bagaimanakah caranya supaya rakyat mau menurut ? Confucius menjawab “ Angkatan
orang - orang yang jujur (dapat dipercaya) dan singkirkanlah orang - orang yang
curang : dengan demikian niscaya rakyat akan menurut . Kalau diangkat orang -
orang yang curang dan disingkirkan orang - orang yang jujur , niscaya rakyat
tidak mau menurut “ (Lun Gie 2 : 19).
Bagi Conficius kepercayan perlu di tumbuhkan sejak
dini mulai dari ruang lingkup keluarga. Sehingga dengan demikian akan membentuk
seorang JUNZI (Manusia Unggul) yang penuh kebajikan. Dalam kontek bisnis
seorang JUNZI akan menerapkan kebajikannyadalam mengelola bisnis dengan benar.
Eman Suherman mengatakan “ Etika bisnis antara lain
meliputi : kejujuran , kepercayaan (harus dapat dipercaya ) , ketepatan dalam
memenuhi janji , kehandalan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan , serta
keterbukaan “ (Suherman : 228).
Linda Kleebe Trevino ( 1995 : 290 ) dalam alma ( 2003
: 52 ) menyatakan “ Business Ethics is about building of trust between people
and organizations, an absolutely essential ingredient to conducting business
successfully in long term “ ( Etika bisnis merupakan usaha membangun
kepercayaan antara masyarakat dengan organisasi organisasi bisnis, dan ini
merupakan elemen yang sangat penting untuk suksesnya bisnis dalam jangka
panjang” ( Eman Suherman : 228 ) .
Bisnis yang
dilandasi dengan kepercayaan , maka akan mempererat hubungan dan dengan
sendirinya akan memperbanyak jaringan , sehingga ini akan memperkuat posisi
bisnisnya. Keyakinan di atas diyakini oleh Etnis Tionghoa dan digunakan dalam
setiap langkah dalam dunia bisnis.
Bila setiap Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia
layak dipercaya oleh anggota - anggota yang didiskreditkan ini kemungkinan akan
diasingkan dari jaringan Cina perantauan , baik dalam lingkup lokal maupun
internasional (David : 56) . Oleh karena itu keluarga bisnis Tionghoa pada
umumnya menjaga nama keluarga dengan baik. Kegagalan melakukan hal tersebut
berarti melanggar asas bakti pada keluarga karena usaha penanganan bisnis
secara tidak etis akan membawa malu dan aib bagi leluhur seseorang , yang
biasanya diungkapkan dalam marga seseorang. Menurut Hedding (1990) yang dikutip
oleh David“ menyelamatkan muka “ adalah dorongan motivasi yang kuat di balik
usaha nama keluarga di antara para wiraswasta Cina .
Tak salah apa yang di katakan Ketiga bisnismen sukses
:
“ Orang bisa berkali - kali memilki uang , tetapi memiliki kehormatan
hanya sekali saja “ Fung King - hey , pendiri perusahaan pialang saham terbesar
Hong Kong ( Kraar , 1985, p92 ).
“ Komoditas dalam perbankan bukanlah uang , melainkan kepercayaan “
Mochtar Riady , Ketua Lippo Group , Indonesia ( Shirdas , 1992,p:11 ).
“ Faktor utama di balik hubungan yang lancar adalah kredibilitas “ Li Ka
shing , pengusaha properti terkemuka , Hong Kong
(Kraar,11992,p:67).
Begitulah pentingya kepercayaan , sehingga nyawapun
bila perlu dikorbankan demi kepercayaan dan nama baik. Hal ini sangat mendarah
daging di sebagin besar etnis Tionghoa. Keyakinan ini bersumber pada ajaran
Confucius sebagai berikut . Tatkala salah satu murid Confucius yang bernama Cu
- Khong / Zhi Gong bertanya tentang pemerintahan yang kuat. Confucius menjawab
harus cukup sandang, pangan, papan, persenjataan ( tentara yang kuat) dan
kepercayaan. Cu Khong bertanya lagi, kalau ketiganya terpakasa ada yang tidak
dipenuhi, manakah yang dapat ditinngalkan.Lalu Confucius berkata tinggalkan
persenjataan ( tentara ). Tanpa adanya tentara pemerintahan akan berjalan
dengan baik .Cu Khong bertanya lagi, kalau terpaksa tidak dapat dipenuhi dari
dua yang masih itu, manakah yang dapat ditinggalkan. Lalu Confucius menjawab
tinggalkanlah sandang dan pangan, yang penting adalah kepercayaan, yakni
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
Kepercayaan ( Trust ) merupakan salah satu factor
yang penting bagi suatu badan usaha . hal ini dikarenakan apabila perusahaan
melakukan pengkianatan terhadap suatu apabila kepercayaan tersebut terus
dipelihara dengan baik, maka dapat menjadi suatu investasi dalam membina
hubungan yang saling menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang.
Menurut Moorman et al.( 1992) mendefinisikan
kepercayaan sebagai :
“ A willingness to rely on an
exchange parner in whom one
hasconfidence. “
Schurr dan Ozanne ( 1985 ) dalam Ndubisi ( 2009a) menjelaskan kepercayaan
sebagai “ The belief that are parner’s
word promise is reliable and a party will fulfill his/her obligations relationship “
Menurut Reichheld dan
Sasser( 1990 ) menyatakan bahwa “ Fulfilling promises that have been given is
equally important as a means of achieving customer satisfaction, retaining the
customer base, and securing long-term
profitability “ . Sirdeshmukh, Singh and Sabol ( 2002 ) menyatakan bahwa” There
is a relationship between consumer trust and loyalty, when providers act in a
way that builds consumer to make confident predictions about the provider’s future behaviors “.
Kemudian menurut Morgan
dan Hunt Bruhn ( 2003, p 655 ) mendefinisikan kepercayaan sebagai “ The
customer’s willingness to forgot any additional and just rely on the
corporation’s behavior in the future “.
Menurut Doney dan Canon
dalam Bruhn ( 2003,p 65 ), terdapat berbagai proses dalam pembangunan
kepercayaan yaitu :
a.Dalam sebuah calculated prosess, salah satu kelompok hubungan
mengamsumsikan perilaku dapat dipercaya dari yang lain jika keuntungan dari
mengamsumsikan perilaku dapat dipercaya dari perilaku tidak terpercaya lebih
rendah dari biaya yang dikenakan ketika tertangkap.
b.Predictive process, kepercayaan tergantung pada kapabilitas seorang
didalam mengantisipasi perilaku dari orang lain,
c.Capability process berhubungan pada perhitungan kemampuan dari kelompok
hubungan untuk menyelesaikan pekerjaannya,
d.Berdasarkan pada intent process,kepercayaan didasarkan pada tujuan dan
maksud dari kelompok yang lain, dan
e.Dengan mengacu pada transferring process, pembangunan kepercayaan
merupakan subyek untuk sebuah perhitungan kelompok hubungan oleh pihak luar.
Dari definisi definisi tersebut dapat
terlihat bahwa kepercayaan pelanggan terhadap suatu perusahaan dianggap sebagai
kepercayaan dalam hal kualitas dan rasa
dengan pengandalan jasa yang ditawarkan . Karena itu kepercayaan dianggap
sebagai komponen yang paling penting dalam menjalin hubungan antar organisasi
dengan pelanggan secara kooperatif.
Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa dapat timbul karena
pelanggan menilai mutu produk dengan apa yang terlihat atau pahami .
Para peneliti sebelumnya
yang dilakukan oleh Ndubisi (2007a),Reichheld dan Sasser (1990), dan Ribbink,
Riel, Liljander dan Streukens ( 2004 ). Dan Sirdeshmukh,Singh dan Sabol (2002)
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif kepercayaan terhadap loyalitas
pelanggan. Adapun beberapa indicator kepercayaan yang digunakan sesuai dengan penelitian Ndubisi (2007b)
dimana merupakan pengujian first order yaitu janji janji yang diberikan oleh
penyedia layanan dapat diandalkan,penyedia layanan konsisten dalam menyediakan
layanan yang berkualitas,dan penyedia layanan memenuhi kewajiban terhadap
pelanggan.
Kepercayaan atau saling
percaya adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi
dan orang orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah
rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan
makna.Transaksi antar kelompok menjadi sangat mahal, lambat , dan tidak dapat
dipegang kesempatnnya ( Rhenald Kasali 2007 : 277 ).
Budaya tidak percaya
erat hubungannya dengan situasi / ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu
Negara. Ketika masyarakat suatu bangsa tidak mempercayai pemimpin pemimpinnya
maka biaya transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan
rekan bisnis dari Negara lain, dunia perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga
tidak bisa mempercayai system peradilan dan mata uangnya sendiri. Untuk
mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi hubuk di Negara
lain, mencatat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan
membebankan semua biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnisnya. Sebuah
institusi yang diwarnai dengan budaya saling tidak percaya sudah pasti tidak
punya masa depan.
Kepercayaan
XIN
|
Pelanggan Loyal
|
Menaikkan Volume Penjualan
|
Mempercepat Pengiriman Barang
|
Memperbanyak XUANXI
|
Mempermudah Transaksi
|
Sukses Jangka Panjang
|
Rendah Biaya Transaksi
|
Inovasi Baru
|
Memperlancar Produksi
|
Human Relation Baik
|
Pengembangan Perusahaan
|
Memperkuat Modal Kerja
|
Memperpendek Jalur Birokrat
|
Mudah Kredit
|
Keuntungan
|
Reputasi Integritas
|
Mudah dapat bantuan
|
Expansi
|
Teknologi Baru
|
Competitive
Advantage
|
3. Cinta Kasih ( Ren )
Ren (
cinta kasih ) sebagai kebaikan / kebajikan bersifat timbal balik. Menurut
Kosasih bahwa seorang penguasa atau majikan harus bertindak sopan santun ,
sebelum ia berhak memeriksa kesetiaan menterinya dan karyawannya. Sama halnya
dengan seorang ayah harus ramah dan saying sebelum ia mengharapkan perbuatan
bakti anak - anaknya ( Kosasih : 58 ). Etos Ren di atas mengandung arti bahwa
pengusaha harus memberikan hal terbaik kepada pelanggan atau kolega bisnisnya
agar pelanggan dan kolega memmberikan hal terbaik juga kepada pengusaha
tersebut.
Cinta
kasih sangat penting , karena tanpa adanya cinta kasih , maka orang tidak akan
mungkin berlaku hormat , lapang hati , dan sebagainya. Cinta kasih adalah hati
manusia. Perasaan belas kasihan itulah benih cinta kasih, maka orang yang tidak
mempunyai perasaan berbelas kasihan itu bukan manusia.
Ada
lima pedoman cinta kasih yang terdapat
pada Sabda Suci XVII: 6: 2 hal. 301, yang berbunyi :
“ Kalau orang dapat berlaku : hormat , lapang hati ,
dapat dipercaya , cekatan , dan bermurah hati . Orang yang berlaku hormat ,
niscaya tidak terhina ; yang lapang hati , niscaya mendapat simpati umum ; yang
dapat dipercaya , niscaya mendapat kepercayaan orang , yang cekatan , niscaya
berhasil pekerjaannya ; dan yang bermurah hati niscaya diturut perintahnya . “
Contoh: antara atasan dan
bawahan harus bisa menjaga sikap atau tingkah laku yang benar, sehingga membawa
keharmonisan dalam lingkungan kerja. Sikap di sini termasuk dapat mengontrol
hati .
Dalam
Kitab Lun Yu terdapat 100 huruf Rend an menurut Confucius bahwa “ yang
dikatakan Ren bila diri sendiri ingin tegak , maka berusaha agar orng lain
tegak. Bila diri sendiri ingin berhasil , maka berusaha agar orang lainpun
berhasil “ (Indarto : 1) . Confucius bersabda : “ Ren (Cinta Kasih ) ialah
mencintai manusia” (Lun Yu / Lun Gie XII : 22.1). Selanjutnya dikatakan “ Kalau
Aku (Confucius) inginkan cinta kasih itu sudah besertaku.” “Apa yang diri
sendiri tiada inginkan , jangan diberikan pada orang lain (Lun Yu / Lun Gie XV
: 24).
Pengertian
di atas apabila dihubungkan dengan bisnis bahwa seorang wirausaha apabila ingin
bisnisnya maju dan sukses , maka berusaha agar kolega bisnis , supplier
(pemasok) , bahkan pelanggan diusahakan agar ikut maju dan berkembang juga.
Namun sebaliknya tindakan atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pengusaha ,
harus diukur dulu terhadap perusahaan sendiri dan apabila kebijaksanaan yang
tidak baik dan tidak bermanfaat bagi perusahaannya , jangan sampai kebijaksanan
itu diberikan kepada perusahaan lain baik itu kolega bisnis maupun supplier.
Etos
Ren merupakan The Golden Rule (Kaidah
Emas) adalah bahwa setiap orang adalah manusia yang sama harkat dan
martabatnya. Maka , apa yang Anda inginkan dari orang lain , itulah yang juga
Anda lakukan pada orang lain. Sebagai orang bisnis , karena Anda sendiri ingin
agar hak dan kepentingan Anda diperhatikan , maka hargai dan perhatikan juga
hak dan kepentingan orang lain dalam kegiatan bisnis apapun yang Anda lakukan.
Jika Anda sendiri tidak ingin hak dan kepentingan Anda dirugikan, maka jangan
merugikan hak dan kepentingan bisnis orang lain. Prinsip - prinsip tersebut
menurut Sonny Keraf , adalah dasar dari setiap relasi sosial manapun, termasuk
bisnis. Bisnis tidak bisa bertahan dan berhasil kalau prinsip ini dilanggar
(Sonny : 81). Maka seseorang yang memiliki Cinta Kasih tentunya akan banyak
sahabat , banyak pelanggan dan tentu saja ini merupakan modal dasar untuk
suksesnya bisnis yang kita jalankan.
4. Kebenaran ( Yi )
Kebenaran
berbeda dengan cinta kasih, meliputi pemikiran yang memerlukan logika dan
tindakan dari sudut pandang seseorang. Perasaan malu dan tidak suka adalah
benih kebenaran, yang tidak mempunyai perasaan malu itu bukan orang lagi.
Contoh: sebagai seorang
karyawan baru di sebuah perusahaan, perlu belajar tata cara atau prosedur kerja
yang benar. Sehingga bisa beradaptasi dalam lingkungan kerja yang baru.
Bingcu berkata, “...
Hidup, aku menyukai. Kebenaran, aku menyukai juga. Tetapi kalau tidak dapat
kuperoleh kedua-duanya, akan kulepas hidup dan kupegang teguh Kebenaran.
(kutipan salah satu ayat dalam Bingcu VIA: 10 hal. 698 )
Nabi bersabda , “Seorang
Junzi terhadap persoalan di dunia tidak mengiakan atau menolak mentah - mentah
, hanya Kebenaranlah yang dijadikan ukuran “ (Lun Gie Jilid IV : 10).
Nabi bersabda, “Luaskan
pengetahuanmu dengan membaca Kitab - kitab , dan batasi dirimu dengan
Kesusilaan. Dengan demikian kamu tidak melanggar Kebenaran “ (Lun Gie Jilid XII
: 16).
Confucius berkata ,
“Seorang Junzi memegang Kebenaran sebagai pokok pendiriannya . Kesusilaan
sebagai pedoman perbuatannya , mengalah dlam pergaulan dn menyempurnakan diri
dengan laku dapat dipercaya “ (Lun Gie Jilid XV : 18). Ayat - ayat di atas
apabila diterapkan dalam dunia bisnis bahwa dalam menjalankan perusahaan harus
berdasarkan pada kebenaran.
Di China etos Yi ( kebenaran )
menjadikan dasar atau pondasi dalam segala aktifitas bisnis. Menurut Lu Xiaohe
etos Yi yang bersumber pada ajaran Confucius dijadikan landasan moral untuk
mencapai keuntungan bisnis. Bisnis harus deraih berdasarkan moral Yi menuju tercapainya keuntungan (Li ) atau cara
Yi menuju Li. ( Journal of Business Ethics 16 :1509-1518,1997 ).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
beberapa hal pokok diantaranya :
1.Perusahaan yang memiliki
pimpinan yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang.
2.Kunci utama kesuksesan
adalah reputasinya sebgai pengusaha yang memegang teguh integritas dan
kepercayaan pihak lain.
3.Kepercayaan akan
mempercepat transaksi dan praktis
4.Dengan kepercayaan akan
mempercepat pengiriman barang
5.Kepercayaan akan membuat
rendahnya biaya transaksai
6.Kepercayaan akan
memperpendek jalur dibokrat
7.Kepercayaan memudahkan
mendapatkan kredit dan bantuan keuangan
8.Kepercayaan setara
dengan modal kerja
9.Kepercayaan akan menarik
pelanggan pelanggan loyal
10.Kepercayaan akan
memperbanyak jaringan dan memperkuat bisnis.
5. Kebijaksanaan ( Zhi )
Kebijaksanaan
adalah pengetahuan tentang benar dan salah, baik dan buruk. Penting dalam
penerapan norma-norma moral, tanpa itu seseorang tidak bisa menjadi bijaksana.
Tanpa kebijaksanaan, seseorang tidak akan mempunyai etika atau kemampuan
sosial, atau dalam bahasa yang sederhana perlu adanya bimbingan untuk menuju
kebajikan yang lain.
Contoh: menjadi seorang
manager adalah impian semua orang, namun perlu diingat tugas dan tanggung
jawabnya juga besar. Dalam keadaan yang mendesak, harus bisa bersikap bijaksana
dalam memutuskan sesuatu, sehingga keputusannya tidak akan berat sebelah.
Perasaan membenarkan dan menyalahkan itulah benih kebijaksanaan, yang tidak
mempunyai perasaan membenarkan dan menyalahkan itu bukan orang lagi. (penggalan ayat suci dari Bingcu II A : 6 : 4,5 hal.439 ).
Cu-he bertanya tentang
kebijaksanaan , Confucius menjawab “ Angkatlah orang - orang yang lurus di atas
orang - orang yang bengkok , dengan demikian dapat mengubah yang bengkok
menjadi lurus” (Lun Gie Jilid XII 22: 4).
Confucius berkata , “ Bila
diri telah lurus , dengan tanpa memerintah semuanya kan berjalan beres. Bila diri tidak lurus ,
sekalipun memerintah tidk akan diturut” (Lun Gie Jilid XIII : 6).
Ayat -
ayat di atas apabila dihubungkan dengan bisnis , maka kebijaksanan yang
diterapkan oleh seorang manajer atau wirausahawan haruslah bertumpu pada nilai
- nilai bijak yang berlandaskan pada kebenaran. Seorang wirausahawan harus bisa
memberikan teladan yang baik bagi anak buahnya agar anak buahnya juga bisa
menerapkan kebaikan dalam menjalankan tugas pekerjaan dalam perusahaan.
6. Keberanian ( Yong )
Keberanian
yang dimaksud di sini adalah berani dalam membela kebenaran . Kita diharapkan
tidak takut menghadapi setiap permasalahan yang ada , dan kita juga diharapkan
dapat bertanggung jawab dengan perbuatan yang telah kita lakukan. Jadi berani
dapat diartikan pula sebagai bersikap kesatria. Kita dituntut untuk berani
dalam menghadapi segala hal , karena dengan keberanian itu , akan membuat kita
menjadi seorang yang bijak.
Dalam
hal ini Confucius memberikan ilustrasi sebagai berikut :
“Kepada orang yang dengan
tangan kosong berani melawan harimau , dengan tanpa alat berani menyeberangi
bengawan , sekalipun binasa tidak merasa menyesal. Aku tidak memakainya. Orang
yang Kupilih ialah yang di dalam menghadapi perkara mempunyai rasa khawatir dan
suka memusyawarahkan rencana , sehingga dapat berhasil di dalam tugasnya” (Lun
Gi Jilid VII : 11 ayat 3).
Implementasinya
dalam dunia bisnis bahwa seorang manajer harus berani mengambil resiko dan
berani melakukan perubahan - perubahan manajemen , berani mencoba peluang
bisnis baru . Berani yang demikian ini sering disebut dengan “ Blue Ocean “.
7.Kesusilaan ( Li )
Li adalah adalah semacam aturan atau tatakrama bisa juga disebut
prosedur yang tepat dalam menjalankan sesuatu . Orang Tionghoa sejak kecil
sudah dididik untuk memiliki kepatuhan moral ini untuk mencari konsesus,
pengendalian diri, memiliki tanggungjawab , berterimakasih kepada orang tua
serta menghormati yang lebih senior. Penghormatan penghormatan kepada senior,
orang lain bahkan para pelanggan bisnis
dengan sopan santun dan cara cara yang benar itu merupakan praktek dari
Li.
Menurut Thomas Liem Tjoe ( 2008 : 51 ) bahwa Li sebagai pengetahuan
tentang bentuk bentuk tingkah laku yang mulia telah menjadi kebiasaan orang
Tionghoa dan menjadi tingkahlaku para pelaku bisnis yang telah terpola dan
mendasar dalam prinsip bisnis walau hal tersebut tidak dipamerkan dalam tulisan
dan dibaca pelanggan tetapi mereka menghayatinya apa yang termasuk
peritingkahlaku Li dan apa yang menyimpang dari Li dalam menjalankan bisnis.
Orang awampun yang berbisnis dengan orang Tioghoa lama kelamaan akan
memahami apa yang di sebut dengan Li. Hal ini bisa kita lihat dari ungkapan
orang Tionghoa yang mengatakan sesuatu itu tidak pantas dalam prilakunya dengan
kata “tidak Cenglie “. Ungkapan tidak cengli umumnya diberikan kepada pelanggan
bisnis yang tidak memiliki aturan dalam bertransaksi bisnis maupun kepada
sahabat yang berbuat menyimpang dari kebiasaan yang benar.
Kesusilaan
terdiri dari kesetiaan , sikap baik,tanggungjawab, kesederhanaan , penghormatan
, dan lain - lain. Perasaan rendah hati dan mau mengalah itulah benih
kesusilaan. Bagi yang tidak mempunyai perasaan rendah hati dan mau mengalah itu
bukan orang lagi.
Contoh: dalam bekerja,
bertingkah lakulah sesuai dengan kesusilaan agar sesama rekan kerja saling menghormati.
Seperti yang terdapat dalam Bingcu VII B : 33 : 2 hal. 806 , yaitu :
“Bila segenap gerak, wajah dan tingkah laku
dapat tepat dengan kesusilaan, itu tentu karena sudah mencapai puncak kebajikan
sempurna.”
8.Hubungan / korelasi ( Xuanxi )
Dalam bahasa Cina, guanxi adalah istilah untuk sebuah
hubungan personal. Ia mengacu kepada jaringan hubungan informal dan pertukaran
bantuan yang mendominasi segala aktifitas bisnis dan social yang terjadi di
seluruh Cina dan Negara-negara lain dan area-area yang dipengaruhi kuat oleh
budaya Cina (Kao, 1993; Hwang dan Staley, 2005; Lovett et al., 1999). Menurut
Hwang dan Staley (2005), guanxi telah menjadi sangat penting bagi kebudayaan
Cina selama lebih dari 2.500 tahun – semenjak jamannya Confusius. Confusius
menyebarluaskan lima set hubungan yang sehat di dalam suatu masyarakat:
peraturan/subyek, orang tua/anak, kakak/adik, suami/istri, dan teman-teman.
Dari sejarahnya, masyarakat Cina di bangun mengelilingi klan-klan keluarga. Guanxi dibangun dari konsep klan dengan
memperluas lingkaran pengaruh untuk mencakup saudara-saudara jauh, teman-teman,
dan pada akhirnya individu-individu yang tidak berhubungan dengan keluarga (
Hwang dan Baker, 2000; Hwang dan Stanley,2005).
Guanxi
bekerja menurut satu prinsip dasar: Orang-orang yang berbagi suatu hubungan guanxi saling terikat pada satu sama
lain oleh kode pertukaran timbal balik dan kewajaran yang tidak terucap
(Luo,1997). Penting bagi para individu untuk memenuhi tanggung jawab mereka
dalam lingkaran guanxi. Kegagalan
seseorang dalam melakukannya hampir slalu menghasilkan kerusakan serius bagi
reputasinya, yang mencakup kehilangan gengsi dalam lingkaran guanxi, kehilangan muka dan kehilangan
kepercayaan dari sesama anggota lingkaran guanxi
( Hwang dan Staley,2005).
Sehingga, pengolahan,
pembangunan, dan pengembangan guanxi
telah menjadi prioritas bagi banyak masyarakat cina (Hwang dan Staley, 2005;
Luo, 1995). Di Taiwan dan Cina, para pelaku bisnis pertama-tama berjuang untuk
membangun personal dengan calon pelanggan, setelah diterima dalam klan/keluarga
guanxi, bisnis pun mengikuti. Yang
menarik, ketika guanxi telah di
realisasi, biaya marketing dan pengeluaran untuk hutang buruk menjadi lebih
rendah, dan bisnis pun dijalankan dengan cara yang lebih efisien karena guanxi menciptakan satu kewajiban untuk
menjalankan bisnis di dalam klan dan untuk membayar hutang (Hwang dan
Baker,2000; Hwang dan Staley,2005).Di sisi lain Xuangxi membantu perusahaan
untuk mengamankan transaksi komersial, memenangkan tawaran untuk proyek proyek
umum, untuk memeroleh pinjaman dari bank Negara. (Ip Po Keung ). Dengan
demikian menurut Ip Po Keung , erusahaan yang memiliki Xuangxi yang kuat sangat
penting untuk keberhasilan perusahaan.
Kemudian, Yeung dan Tung
(1996) menemukan bahwa guanxi
merupakan satu-satunya yang secara konsisten dipilih sebagai faktor kunci
kesuksesan dalam berbisnis di cina oleh sekelompok perusahaan internasional
yang beragam; dan Luo (1997a,b) menemukan bahwa sebuah korelasi langsung antara
level guanxi suatu perusahaan dan
pertumbuhan penjualan domestiknya di Cina.
Hubungan atau korelasi adalah pelicin usaha dan dasar
bagi sebagian besar hubungan professional dan sosial (Boye :35). Hubungan atau
korelasi bisa juga berarti hubungan kekeluargaan. dalam ajaran Confucius ada lima hubungan yang wajib
dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang harmonis . Hubungan antara atasan
dan bawahan , hubungan antara sahabat dan kawan , hubungan anak dengan orang
tua , hubungan kakak dengan adik , hubungan antara suami dan istri ( David:50). Dari kelima hubungan tersebut
berkembang menjadi enam hubungan yaitu hubungan antara murid dengan guru.
Orang - orang Cina di Asia Tenggara memelihara
struktur sosial yang terjalin erat yang memungkinkan hubungan ekstensif dan
informal di antara anggota - anggotanya . Hubungan - hubungan sosial dimulai
pada tingkat keluarga dan meluas pada hubungan kekerabatan non keluarga yang
terkait oleh nama keluarga yang sama , daerah asal yang sama , atau kelompok
dialek yang sama. (David CL Ch’ng:45 ).
Praktek - praktek bisnis orang - orang Cina
perantauan muncul terutama sekali dari pengaruh Confucius ini menjadi alasan
untuk bekerja dan raison d’etre (alasan keberadan ) dari kecakapan
berwiraswasta orang - orang Cina (David :51).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar