Kamis, 26 Januari 2012

PANDANGAN AGAMA KHONGHUCU MENGENAI DIALOG MENUJU PERDAMAIAN DUNIA


PANDANGAN AGAMA KHONGHUCU MENGENAI DIALOG MENUJU PERDAMAIAN DUNIA*
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono,MM,MBA*
I.Pembukaan
         Sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini tidak lepas dari konflik yang menyangkut Premordialisme Sara, konflik kesenjangan ekonomi, konflik ‘pribumi vs pendatang’ , konflik karena arogansi penguasa, konflik karena saluran politik tersumbat, provokasi sebagai alat politik, main hakim sendiri, konflik karena rebutan kekuasaan, konflik karena terabainya hak hak masyarakat dll. 
Konflik konflik diatas bukan saja dimonopili oleh bangsa Indonesia semata, melainkan secara Internasional bahwa dunia ini sedang mengalami permasalahan besar tentang kedamaian. Konflik Timur Tengah yang tak kunjung padam, agresi militer negara adikuasa Amerika di Irak, Libia dan sebaginya.Khususnya di Indonesia wilayah rawan konflik seperti di Ambon, Poso, Aceh dan Papua perlu pendapat perhatian serius.   Permasalahannya adalah seberapa besar peran agama bagi kehidupan manusia khususnya bangsa Indonesia yang dipandang sebagai masyarakat religius ini ? apakah agama  agama khususnya di Indonesia memiliki andil cukup besar dalam membantu menyelesaikan konflik ?  sesungguhnya apa yang salah dengan bangsa ini ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas  tidaklah mudah.  Banyak faktor yang menyebabkannya, akan tetapi kita semua sebagai kaum beragama setidaknya wajib andil  dalam memperbanyak kelompok religius agar memiliki pandangan pluralistik, mengkaji dan mengembangkan nilai nilai agama yang bersifat plural untuk diterapkan dalam kehidupan  masyarakat. Saya percaya bahwa hanya dengan memberikan pemahaman, pandangan serta merubah pola pikir manusia, dunia ini baru berubah. Maka tak salah seorang spikolog besar berkata bahwa “ Penemuan di akhir abad XXI yang terbesar adalah bahwa manusia hanya bisa merubah peritingkahlakunya dengan hanya merubah cara pikirnya “. Dalam hal ini  sesuai dengan ajaran Khonghucu yang mengatakan bahwa “ untuk bisa merubah tabiat manusia kearah baik hanya dengan cara pendidikan melalui pembinaan diri secara terus menerus”.
Pendidikan agama yang menyangkut etika moral harus menjadi prioritas utama dalam membangun pola pikir menuju sikap damai dan sejahtera. Dengan melalui pendidikan dan pengajaran akan  membuka pola pikir selanjutnya akan terciptalah pemahaman dan sekaligus tindakan menuju kedamaian dunia.   
Berkaitan dengan hal diatas saya mencoba menyajikan beberapa pandangan agama  Khonghucu mengenai dialog menuju perdamaian dunia.
II.Membina Diri
Pada tahun 1988, 74 pemenang Hadiah Nobel membuat pernyataan di Paris “ If human beings want to live in peace and prosperity in the 21 st century, the must look 2,500 years and seek the wisdom of Confucius” ( Zhang Youmin and Li Tianchen ).
Pernyataan tersebut diatas bukan semata mata hanya etika Khonghucu saja yang bisa digali dalam  memberi kontribusi terhadap kedamaian dunia, melainkan semua agama yang ada di dunia hendaknya menggali nilai nilai agama menuju pada etik global dalam mencapai kedamaian dunia. Seperti juga tercatum dalam Deklarasi Awal Menuju Etik Global pada bagian butir ke tujuh dikatakan bahwa “ Bumi tidak bisa merubah menjadi lebih baik jika kesadaran individual ( diri sendiri ) kita tidak berubah terlebih dahulu” . Maka berdasarkan pernyataan diatas makalah ini akan memulai mengkaji pandangan Khonghucu terhadap kedamaian dari diri individu terlebih dahulu baru kemudian, keluarga dan lingkungan.  
Menurut Khonghucu bahwa kedamaian itu berawal dari diri sendiri sebagai anggota keluarga. Apabila tiap tiap individu dalam keluarga itu mampu membina diri dan wawas diri , maka akan terciptalah tatanan harmonis dalam keluarga, masyarakat bahkan dunia. Dalam hal ini Khonghucu mengajarkan perlunya pembinaan diri bagi semua orang tanya perkecualian. “ Karena itu dari Raja sampai rakyat jelata mempunyai satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok” ( Thai Hak BAB Utama : 6 ) .   ”Tiap hari aku memeriksa diri dalam tiga hal : sebagai manusia apakah aku sampai tidak satya. Bergaul dengan kawan dan sahabat apakah aku sampai berlaku tidak dapat dipercaya ? Dan apakah ajaran Guru sampai tidak kulatih “( Lun Gi I : 4 ) “ Bila bersalah janganlah takut untuk memperbaiki diri “ ( Lun Gi I : 8.4 ).  
Apabila tiap tiap individu sebagai  anggota keluarga telah mampu membina diri dengan benar akan terciptalah keluarga yang harmonis, saling kasih mengasihi satu sama lain. Seperti tersurat dalam Ajaran Besar IX : 3 “ Bila dalam keluarga saling mengasihi niscaya seluruh Negara akan di dalam Cinta Kasih. Bila dalam tiap keluarga saling mengalah, niscaya seluruh Negara akan di dalam suasana saling mengalah. Tetapi bila mana orang tamak dan curang, niscaya seluruh Negara akan terjerumus ke dalam kekalutan; demikianlah semuanya itu berperanan. Maka dikatakan, sepatah kata dapat merusak perkara dan satu orang dapat berperan menentramkan Negara”. Dalam ayat lain Ajaran Besar X:9 dikatakan ,” Adapun yang dikatakan ‘damai di dunia itu berpangkal pada teraturnya negara’, ialah : Bila para pemimpin dapat hormat kepada yang lanjut usia, niscaya rakyat bangun rasa baktinya ; bila para pemimpin dapat bersikap rendah hati kepada atasannya, niscaya bangun rasa rendah hatinya ; bila para pemimpin dapat berlaku kasih dan memperhatikan anak yatim piatu, niscaya rakyat tidak mau ketinggalan “.
Pembinaan diri merupakan suatu proses pembelajaran secara terus menerus untuk menjadi manusia yang ideal yakni Junzi ( insan Kamil ). Proses “ Learning to be human “ semacam ini disebut dengan “ Nei sheng Wai wang “ yakni membina diri kedalam  berwatak Nabi, keluar menjadi pemimpin rakyat ( mencapai kedamaian dunia ). Ajaran tersebut tentunya membentuk kepribadian umat manusia  seperti sifat sifat kenabian ( sesuai dengan Kebajikan ) di dunia ini. Disisi lain kepribadian yang dimiliki akan meraga keluar sebagai  tingkah laku dan perbuatan yang baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, lingkungan hidupnya sekaligus rasa sujud dan bakti kepada Khalik Penciptanya. Bagi Khonghucu bahwa dalam rangka menjuju kesempurnaan hidup dengan memahami Tian ( Tuhan ) hanya dapat dicapai melalui pemahaman manusia terhadap sesamanya. Keyakinan tersebut menjadikan umat Khonghucu harus berlaku baik kepada sesama baik itu seiman maupun orang lain yang berlainan iman.  Dalam hal ini disebutkan dalam Kitab Tiong Yong BAB XIX : 7 sebagai berikut” Maka seorang Kuncu tidak boleh tidak membina diri, bila berhasrat membina diri, tidak boleh tidak mengapdi kepada orang tua; bila berhasrat mengabdi kepada orang tua, tidak boleh tidak mengenal manusia, dan bila berhasrat mengenal manusia, tidak boleh tidak mengenal kepada Tian ( Tuhan Yang Maha Esa )”
Ayat diatas menjelaskan bahwa perbuatan baik manusia harus diawali dengan pembinaan diri dengan berbuat baik kepada manusia untuk sarana belajar mengormati dan sujud kepada Tian ( Tuhan Yang Maha Esa ). Oleh karena itulah di ayat lain disebutkan “Menjaga hati merawat Watak Sejati ,demikianlah mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa“( Bingcu VIIA 1,ayat 2 ). Dengan merawat Watak Sejati berarti telah melaksanakan tugas suci yang diberikan Tuhan. Dengan demikian secara otomatis manusia telah mampu hidup sesuai dengan kehendakNya, maka “ Yang dapat benar benar menyelami hati, akan mengenal Watak Sejatinya; yang mengenal Watak Sejatinya akan mengenal Tuhan Yang Maha Esa “ ( Bingcu VII A 1 ayat 1) .  
Ayat ayat tersebut menekankan bahwa dihadapan Tuhan manusia diukur dari perbutan baiknya . Maka keimanan Khonghucu dengan jelas mengatakan “Wei De Dong Tian ( Wi Tik Tong Thian ) artinya hanya dengan Kebajikan Tuhan berkenan ( Kitab Shu Jing II.II.III.21 ). Dalam Kitab Tiong Yong XXXVI  dengan jelas disamping  manusia takwa kepada Tuhan sebagai Khalik semesta alam juga menjadikan manusia yang berbudi luhur yang mencapai puncak kebaikan, sekaligus puncak jalan suci “ menggemilangkan kebajikan yang bercahaya ( Bing Tik ), mengasihi rakyat , dan berhenti pada puncak kebaikan “. 
Implikasi dari ayat ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa menjauhkan diri dari kekerasan, pembunuhan, perusakan perusakan akan jauh dari keridhoan Tian ( Tuhan Yang Maha Esa ).Sebaliknya perbuatan baik kepada masyarakat akan mendapatkan pertolongan dari Tuhan.  
Disisi lain bahwa perbuatan yang baik antar sesama manusia secara tidak langsung akan menjadikan hubungan yang harmonis dalam masyarakat bahkan dunia . Dalam hal ini ada hubungan yang erat antara “pembinaan diri” dengan “kedamaian dunia “ seperti kita lihat  dalam Thai Hak BAB Utama : 4 sebagai berikut : “ Orang Jaman dahulu yang hendak menggemilangkan Kebajikan Yang Bercahaya itu pada tiap umat di dunia, ia lebih dahulu berusaha mengatur negerinya; untuk mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya; untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dahulu membina dirinya; untuk membina dirinya, ia lebih dahulu meluruskan hatinya; untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu mengimankan tekatnya; untuk mengimankan tekadnya ia lebih dahulu mencukupkan pengetahuannya; dan untuk mencukupkan pengetahuannya, ia meniti hakekat tiap perkara”.Selanjutnya dikatakan “Dengan meniti hakekat tiap perkara dapat cukuplah pengetahuannya; dengan cukup pengetahuannya akan dapatlah mengimankan tekatnya; dengan tekat yang beriman akan dapatlah meluruskan hatinya; dengan hati yang lurus akan dapat membina dirinya; dengan diri yang terbina akan dapatlah membereskan rumah tangganya; dengan rumah tangga yang beres akan dapatlah mengatur negerinya; dan dengan negeri yang teratur akan dapat mencapai damai di dunia”( Thai Hak Bab Utama : 5 ).   
Suka Belajar, Kritis
 
Rumah-Tangga

Masyarakat
Negara
Dunia
AKU/Pribadi
Hati-Lurus
                                     
Tulus dan Jujur
 


Gambar : Nei-sheng Wai-wang
Sumber : Xs.Indarto
III. Nilai Ren ( Kemanusiaan ) sebagai landasan
         Ajaran Khonghucu meyakini bahwa manusia diciptakan Tian ( Tuhan YME ) dengan sifat sifat asli ( Bingcu VII A :38 ) . Sifat sifat asli pemberian Tian berupa Ren= Cinta Kasih, Yi=Kebenaran,Li= Kesusilaan  ,Zhi=Kebijaksanan , dan Xin=Kepercayaan  ( Bingcu VII A : 21 ayat 4 ). Sifat asli diatas wajib kiranya dikembangkan dan dipraktekkan dalam kehidupannya  sebagai sarana mencapai kesempurnaan hidup dalam tanggunjawabnya kepada Tian ( Khalik Semesta Alam ).  
Ren ( Cinta Kasih ) dipraktikkan dalam lingkungan terkecil rumah tangga maka akan terjadi hubungan harmonis yang tumbuh dan berkembang, terciptanya suasana hormat menghormati antara suami-isteri, adanya kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan ada saling tolong menolong antara kakak-adik  (disebut dengan Lima Hubungan ).  Jadilah keluarga sebagai tempat belajar pertama untuk belajar toleransi, disilah terjadi proses akomodasi dan penyesuaian yang dibuat orang lain. Maka diharapkan keharmonisan yang tumbuh dari lingkungan kecil keluarga ini memancar keluar sehingga terbina sikap saling dapat dipercaya antara kawan dan sahabat tanpa memandang bangsa, jenis kelamin, paham, keyakinan dan keimanan. Menyadari sepenuhnya sebagai ‘mandataris’ Tuhan di dunia ini setiap manusia berkewajiban taat-setia kepada Tian (Tuhan) dan mencintai sesama manusia ( Ren ) . Seorang yang Ren tentunya “ Apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain ( Lun Gi XI : 2 ). “ Seorang yang berperi Cinta Kasih ingin dapat tegak, maka ia berusaha agar orang lain pun tegak; ia ingin maju, maka ia berusaha agar orang lain pun maju “ ( Lun Gi VI : 20 ) .” Seorang Junzi(Kuncu) menjadikan kebaikan orang, tidak menjadikan keburukan orang. Seorang rendah budi berbuat sebaliknya.”( Lun Gi XII:16).   
Konsep Ren diatas diharapkan mampu menjadikan umat manusia untuk mempraktekan sekaligus membangkitkan kecintaan kita kepada sesama manusia tanpa pandang bulu baik agama, golongan, suku bangsa bahkan darimana asalnya.
IV. Nilai  Li Yi ( Kesusilaan dan Kebenaran )  dalam bergaul  
Khonghucu bersabda bahwa :   Yang tidak Li jangan dilihat, yang tidak Li jangan didengar,  yang tidak Li jangan dibicarakan,  dan yang tidak Li jangan dilakukan” (Lun Gi Jilid XII 1 ayat 2 ).  Dari penjabaran tersebut menjadikan umat manusia untuk berhati hati dalam berucap dan bertindak sehingga jauh dari kesalahan yang berakibat menyinggung perasaan orang lain. Dalam berkaitan dengan dialog, Nabi Khonghucu memberikan kiat sebagai berikut,” Kalau berlainan Jalan Suci ( Tao ) , tidak usah saling berdebat” ( Lun Gi XV: 40 ). Perbedaan adalah kasanah beraneka ragam yang harus dijunjung tinggi dan dihormati seperti kita melihat dan memandang para Nabi yang ada diturunkan kedunia ini dari berbagai bangsa yang ada. Dalam kontek ini Khonghucu mengajarkan umatnya untuk menghormati para Nabi yang ada . Tersurat dalam Lun Gi XVI : 8 bahwa “ Seorang Kuncu memuliakan tiga hal: memuliakan Firman Tuhan YME, memuliakan orang orang besar dan memuliakan sabda para Nabi ( dalam hal ini ada beberapa Nabi ). “Seorang rendah budi tidak mengenal dan tidak memuliakan Firman Tuhan, meremehkan orang orang besar dan mempermainkan sabda para Nabi“ . Ajaran menghargai Nabi lain merupakan cerminan dari upaya menghargai iman dan agama orang lain. Terhadap agama lain Khonghucu melarang melakukan kekerasan fisik bahkan tidak dianjurkan menyebarkan agama atau menjadikan orang lain untuk ikut dalam agama kita dengan melakukan tindakan kekerasan kendati mereka menyimpang dari ajaran Tuhan. Kenyataan tersebut bisa kita lihat ketika salah satu murid mau menyerang mereka yang telah menyimpang dari ajaran agama, Khonghucu melarangnya. Dialog ini didapatkan pada Kitab Lun Gi XII : 19 ) sebagai berikut : “ Kwi bertanya kepada Nabi Khongcu, bagaimanakah bila dibunuh orang orang yang ingkar dari Jalan Suci ( ingkar dari Agama ), untuk mengembangkan Jalan suci ( Tao ) ?” Nabi Khongcu menjawab,” Kamu memangku jabatan pemerintahan mengapa harus membunuh? Bila kamu berbuat baik, niscaya rakyat (umat ) akan mengikuti baik. Kebajikan seorang pembesar laksana angin, dan kebajikan rakyat laksana rumput; ke mana angin bertiup , kesitu rumput mengarah !”.   ” Bagi Khonghucu bahwa kejahatan harus dibalas dengan kelurusan dan kebajikan harus dibalas dengan kebajikan ( Lihat Lun Gi Jilid XIV : 35 ). Seorang Junzi ( Luhur Budi ) memegang Kebenaran ( Yi) sebagai pokok pendiriannya, Kesusilaan ( Li) sebagai pedoman perbuatannya, mengalah dalam pergaulan, dan menyempurnakan diri dengan laku dapat dipercaya” ( Lun Gi XV : 18 ). “ Mereka yang mengenal kebenaran ( Yi ) tidak sepadam dengan mereka yang mencintai kebenaran , dan mereka yang mencintainya tidak sepadam dengan mereka yang berbahagia dalam kebenaran (Yi ). Dengan demikian rasanya adalah bijaksana , kalau dalam membina persahabatan orang tidak melihat latar belakang apa keyakinannya. Biarlah agama agama itu berkembang semuanya, biarkan mereka hidup subur dan disukai oleh manusia untuk mengagumkan Tian ( Tuhan) .   
V. Semua saudara
           Dalam hubungan dengan persaudaraan harus dilandasi oleh jiwa saling percaya sehingga jauh dari kecurigaan. Dengan kepercayaan akan menjadikan hubungan yang dekat dan saling Cinta Kasih . Hubungan yang baik antar sesama wajib dilakukan mengingat umat manusia didunia berasal dari Tian dan kembali kepada Tian. Dalam Lun Gi : XII : 5 disebutkan bahwa,” Di Empat Penjuru Lautan , semuanya saudara” .
Keyakinan bahwa semua manusia didunia ini diciptakan oleh Tian ( Tuhan YME ) di dunia ini sebagai satu keluarga besar ( saudara ) yang harus saling sayang menyayangi, saling berhubungan berdasarkan pada kesamaan derajat untuk saling tolong menolong. Sebagai saudara besar tentu saja tidak akan menyakiti dan mencelakai.
VI Menuju dialog
            Dari pemahaman Khonghucu diatas perlu kiranya meningkatkan pengkajian dan pengembangan terhadap nilai nilai toleransi selanjutnya dikembangkan bukan hanya pada tatanan elit agawan melainkan mampu merembes pada tatanan seluruh umat. Perlunya mencari landasan dialog yang sesuai dengan tuntutan jaman. Dalam kaitan dengan dialog dan persahabatan, Khonghucu tidak membatasi pada kelompoknya saja, melainkan bergaul  kepada siapapun termasuk agama dan iman yang berbeda ( Lun Gi XIX 3 ayat 2 ). Tauladan diatas telah dipraktekan sendiri oleh Nabi Khongcu dimana pada suatu hari Beliau bertemu dengan Nabi Lao She di suatu tempat untuk berdiskusi masalah agama. Pertemuan dan dialog 2 Nabi besar tersebut hendaknya menjadikan tauladan bagi kita semua untuk selalu berdialog dalam memecahkan permasalah.  Yang terpenting dalam dialog adalah harus diukur tingkat kemampuan dan wawasannya. Ada petunjuk dari Nabi Khongcu dalam dialok diantara sebagai berikut “ Seorang yang pengetahuannya sudah melampaui tingkat pertengahan, boleh diajak membicarakan hal hal yang tinggi, seorang yang pengetahuannya masih di bawah tingkat pertengahan, tidak boleh diajak membicarakan hal hal yang tinggi “ ( Lun Gi Jilid VI : 21 ) . Petunjuk diatas tentunya harus kita renungi bersama bahwa perlu kiranya para tokoh agama meningkatkan pemahaman dan kedewasan umat dengan memperbanyak para pemikir yang berjiwa pluralis. Hanya dengan cara inilah kedamaian dunia akan terwujud. Seperti yang dikutip oleh Dr.Chandra Setiawan, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengatakan “ Dunia sangat membutuhkan upaya serius dalam menjamin dialog antar agama, memperjuangkan perdamaian dan keadilan, bukan terus menerus mempertajam perbedaan”. Lebih lanjut beliau menyampaikan “ Seharusnya kita mencari jalan keluar dari persoalan dunia berdasarkan nilai nilai yang kita anut bersama ……..agama seharusnya menjadi lentera harapan, memberi yang terbaik , dan bukan terburuk “.” Kepada pemimpin agama , Badawi meminta untuk mengajarkan sikap moderat untuk menyikapi ancaman kaum ekstrimis agama”.
“Kita tidak bisa membiarkan agama kita dirobek habis oleh impuls ekstrimis. Kita mesti komit dalam memperjuangkan perdamaian, toleransi dan pluralitas”. Pernyataan diatas adalah bagian dari ini pidato Badawi, ketika membuka Konferensi Dewan Gereja Gereja Dunia ( World Council of Churches –WCC) yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia ,Selasa, 3 Agustus 2004 ).
Badawi tidak berhenti pada pidato, tetapi dalam kehidupan kesehariannya dapat menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Islam yang pluralis dan bertekat membangun Malaysia dengan merangkul semua ras dan agama. Diberitakan bahwa Badawi mengirim 1,500 kartu ucapan Natal kepada gereja gereja di Malaysia dan tokoh tokohnya ,selama Natal 2003. Ia bahkan makan bersama dengan umat Kristen di halaman Gereja pada hari Natal. Pada tanggal 1 januari 2004, Ia mengirimkan 3,000 kartu ucapan kepada partai partai politik , tokoh ,organisasi pendidikan, dan pengusaha keturunan Cina ,
Apa yang dilakukan Badawi sebagai Perdana Menteri Malaysia, negara yang mayoritas Islam , yang juga Ketua Gerakan Non Blok dan Organisasi Konferensi Islam ( OKI)  patut menjadi contoh pemimpin negara dari negara manapun .
Ada sebuah contoh di Jawa Timur yakni  paguyupan SARAS suatu paguyupan yang didalamnya terdiri dari berbagai kalangan dari berbagai agama yang juga telah menerapkan nilai nilai pluralis dan  apabila ide ide semacam itu diperbanyak dalam wilayah Indonesia, maka tentu saja bangsa Indonesia dimasa mendatang akan lebih dewasa dalam memahami toleransi dan kebersamaan yang tentu saja akan tercapai kedamaian.   
VII.Tantangan ke depan
           Situasi pada akhir abad ke-20 ini,menurut murut Magnis Suseno dalam  Kunarwoko (1994) dan  Chandra  masih cukup relevan untuk diketengahkan, yakni dapat di rangkumkan sebagai berikut : budaya masyarakat berubah secara mendalam, dari masyarakat agamis menjadi masyarakat sekular dan pluralis. Dengan perubahan  budaya itu kita menyaksikan paradigma lama ”orang kita­-orang asing” ke paradigma baru “Martabat manusia universal”. Situasi ini menempatkan agama-agama di hadapan sebuah tantangan historis. Maukah mereka menjadi pendukung etika kemanusiaan universal dalam menanamkan hormat terhadap martabat manusia segenap anggota masyarakat ke dalam struktur-struktur sosial,ekonomi, politik, dunia yang sedang datang? Ataukah mereka menjadi takut, negatif, menutup diri sehingga semakin akan di persalahkan sebagai sumber konflik dan kekejaman? Dapatkah agama-agama dapat mengatasi godaan untuk tidak menjadi sempit, egosentrik, dan eksklusif? Atau sebaliknya,  beranikah agama menjadi benteng toleransi, pergaulan beradab, keadilan, keprihatinan pada pihak yang lemah, entah termasuk kelompok agama sendiri entah tidak? Maukah mereka menjadi pelindung segala macam minoritas dan pembela hak-hak mereka yang terlindas tanpa membedakan menurut golongan? Dapatkah mereka membuat kepentingan seluruh umat manusia, segenap orang, termasuk yang lain sikap hidup dan kepercayaannya, menjadi keprihatinan mereka, tanpa pamrih? Pendeknya, bersediaakan agama-agama menjadi penegak keberadaban, perdamaian, keadilan dan kebersamaan antar manusia?
Tantangan itu juga dapat di rumuskan begini: apakah agama-agama berani merealisasikan universalisme posotif yang dititipkan Sang Pencipta kepada mereka, atau mereka memilih jalur kesempitan, primodialisme? Apakah agama-agama menjadi pembela hak-hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan sosial, atau menjadi kubu- kubu perpecahan bangsa, intoleransi , fanatisme, ekstrisme, dan kekerasan?
Bung karno mengutip Renan mengatakan syarat suatu bangsa adalah “Kehendak akan bersatu”. Perlu orang - orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu “
Pluralism sejati memang jarang terjadi dalam sejarah, tetapi bukan hal yang tidak mungkin. Masalahnya bukan terletak bagaimana paham keanekaragaman sosial memperburuk keadaan, memecah belah seperti yang di khawatirkan oleh banyak orang, tetapi  bagaimana kebhinekaan itu sama lain dapat dikembangkan. Untuk melihat bagaimana pluralisme dapat berjalan sebagaimana mestinya, haruslah melihat kepada agama, yang terletak di dasar hati manusia.
Tumpukan harapaan terhadap agama di Indonesia adalah sangat jelas saat ini. Pengalaman bangsa Indonesia telah dimulai sejak masa kepemimpinan Soekarno, yang memberikan perhatian pada pentingnya kebebasan beragama. Namun, kurang sempurna dipahami orang, padahal Soekarno, yang memberikan perhatian pada kebebasan beragama. Namun , kurang sempurna dipahami orang , padahal Soekarno selalu menegaskan bahwa agama adalah “Unsur muthlak bagi pembangunan bangsa”.
Pancasila adalah dasar filosofi dari bangsa Indonesia yang majemuk.
Tantangan tatanan politik Indonesia saat ini adalah menemukan jawaban yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana melaksanakan kehidupan sosial dalam prinsip-prinsip Pancasila yang tumbuh dalam agama, yakni masyarakat pluralistic yang sesungguhnya.
             Dalam hal ini perlu merenung kembali apa yang dikatakan Nabi Khongcu: “ Seorang Junsi mengutamakan kepentingan umum, bukan kelompok; seorang rendah budi mengutamakan kelompok, bukan kepentingan umum.” ( Lun Gi II :14)
“ Seorang Junzi dapat rukun meski tidak dapat sama; seorang rendah budi dapat sama meski tidak dapat rukun” ( Lun Gi Jilid XIII : 23 ).
“ Seorang junzi boleh hidup berkelompok, tetapi tidak boleh berkelompot “ ( Lun Gi : ) .
“ Bila cipta selalu ditujukan kepada Cinta Kasih, tiada sarang bagi kejahatan “( Lun Gi JILID IV: 4 ).


Daftar Pustaka
1.Indarto,Xs,2010,Buku Pelajaran Ru-jiao Pemula,Gemaku, Jakarta
2.Lim Khun Sen,2010, Hidup Bahagia Dalam Jalan Suci Tian,Gerbang Kebajikan Ru, Jakarta.
3.Setiawan Chandra,Bs,2000, Membumikan nilai Nilai Khonghucu Dalam Hidup Bermasyarakat,Matakin,Jakarta.
4.Setiawan Chandra,Dr,2011.Keluarga,Keberadapan dan Perdamaian Perspektif Khonghucu,Genta Rohani,Edisi Tujuh Belas,
5.SUSI,Kitab Suci Agama Khonghucu, Matakin
6.Setio Ongky.2000. The Key of Harmonious Life ,Study Park of Confucius,Surabaya
7.Zhang Youmin and Li Tianchen,1999-2000, Economic Lessons from Confucius for the New Century,The Centre for East-West Cultural and Economic Studies,The School of Humanities and Social Sciences,Queensland, Australia.
_______________________________
Makalah ini diberikan dalam rangka seminar yang diadakan oleh FKUB Surabaya pada tanggal 29 Oktober 2011 di Gereja Bethany Nginden Jl.Nginden Intan Timur I / 29 Surabaya.  
·         Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Program Doctotal Universitas 17 Agustus 1945
·         Mantan Pengurus Makin Boen Bio tahun 1996




1 komentar:

  1. Pak, tulisan ini bagus dan lengkap sekali.
    Saya sedang penelitian pluralisme agama, bersediakah bapak bila karya bapak ini saya kutip? Terimakasih

    BalasHapus